Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara Peran Aktor Dibalik Perampasan Lahan Warga di Kawasan PSN

Peran Aktor Dibalik Perampasan Lahan Warga di Kawasan PSN

Area Konsesi PT.IWIP Halmahera Tengah

Ternatehariini – Perampasan ruang hidup masyarakat oleh perusahaan tambang di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kabupaten Halmahera Tengah semakin meningkat. Ini terjadi karena transaksi pembelian lahan lebih sering dilakukan antara perusahaan dan pemerintah daerah, bukan dengan penduduk setempat.

Penguasaan ruang hidup dengan cara penawaran harga tanah yang diberikan oleh perusahaan itu sangat rendah, bervariasi antara Rp 8. 000 hingga Rp 9. 000 per meter. Perusahaan beralasan bahwa harga tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.

Di daerah PSN Weda, khususnya di desa-desa ring 1 seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, dan Gemaf, penduduk tidak memiliki tolok ukur harga jual lahan dalam bentuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Akibatnya, saat warga menjual tanah kepada perusahaan, mereka seringkali tidak mengetahui luas lahan dan patokan harga yang seharusnya.

Warga yang menjual tanah tidak mengacu pada harga nilai pajak, melainkan pada SK dari Bupati Halmahera Tengah yang menetapkan harga Rp 9. 000 per meter. Perusahaan sering kali menghindari kewajiban memberi ganti rugi untuk tanah yang berada di kawasan hutan, dengan alasan bahwa lokasi tersebut tergolong dalam hutan produksi. Pemerintah daerah berusaha menjembatani dengan menawarkan pembayaran sebesar Rp 2. 500 per meter.

Hernemus Takuling, berusia 60 tahun Desa Lelilef Sawi, Kecamatan Weda Tengah, terpaksa mendekam di penjara pada tahun 2013 karena memimpin 66 warga dalam memblokir jalan perusahaan dengan tujuan menuntut, pembayaran yang layak untuk lahan mereka saat PT Weda Bay Nickel (WBN) baru memulai operasinya.

Hernemus, menolak tawaran perusahaan yang hanya sebesar Rp 8. 000 per meter dan meminta Rp 7 miliar, ia lebih memilih untuk bertani ketimbang menjual tanahnya, karena khawatir harga yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan tidak adil.

Masry Anwar,  mempertahankan kebun mereka, seluas sekitar 5 hektar yang berlokasi tidak jauh dari desa, karena takut dampak dari ekspansi industri akan merugikan lahan pertanian mereka. Lahan sudah hampir habis, dan jika industrinya berkembang ke Utara Weda, lebih banyak kebun akan hilang.

Masry, terus melestarikan lahannya meskipun di sekitarnya banyak pemilik yang telah menjual tanahnya untuk pertambangan. Meski begitu,  Ia bertekad untuk mempertahankan lahan kelapa, pala, dan cengkeh tersebut sebagai warisan bagi anak cucunya.

Tim penulis menemukan urusan ruang hidup dan lahan di kawasan PSN Weda Halmahera Tengah  muncul masalah cukup pelik. Terutama  saat  negosiasi pembebasan dan pembelian lahan petani. Dalam prosesnya ada keterlibatan banyak pihak. Selain   perusahaan, pemerintah desa, makelar tanah tiap desa juga ikut bermain. Para makelar bekerja sama perusahaan, mendekati petani agar menjual tanah mereka.

Di momen penting seperti jelang hari raya keagamaan. Natal Desember atau jelang puasa Ramadhan dan hari raya idul fitri,  mereka memanfaatkan kebutuhan mendesak dari warga. Akhirnya banyak yang tergiur dan menjual lahan mereka. Tidak hanya makelar, staf dan aparat desa  juga ikut terlibat praktik ini.

Max Sigoro (65), warga Gemaf, termasuk di antara segelintir orang yang menolak menjual   lahan kepada perusahaan. Salah satu alasan dia, karena perusahaan belum memenuhi kewajibannya membayar lahan yang mereka tawar sebelumnya.

Dia cerita, saat jelang hari Natal tahun lalu, pihak perusahaan mengajukan tawaran sebesar Rp2 miliar. Mereka paham waktu seperti itu masyarakat butuh uang lebih, sehingga tawaran ini dianggap menggiurkan. Lahan milik Maks Sigoro luasnya hampir 2 hektar dilengkapi sertifikat, namun pihak perusahaan tidak mencantumkan harga per meternya.

“Mereka membuat penawaran suka suka saja. Jika sertifikat tidak ada, harga akan ditentukan sepihak. Meskipun ada sertifikat, pihak perusahaan menawarkan harga rendah,”

Max mengaku lahan di sekitar kebun miliknya sudah banyak digusur, saat ini tersisa lahan miliknya. Pihak perusahaan bahkan telah melakukan pengukuran lahan tanpa sepengetahuannya, dan ketika mereka menunjukkan peta hasil pengukuran, ada selisih 3. 000 meter. Sebab ukuran yang dicantumkan perusahaan hanya 11. 110 meter. Padahal luas lahan sebenarnya adalah  14. 955 meter.

Dia tidak setuju pengukuran yang mereka lakukan. Ada pengurangan yang  dianggap merugikan. Dia  curiga  ada permainan. Tujuannya selisih luasan itu bisa dijual kembali mereka yang lakukan pengukuran.

“Saya belum bisa menyerahkan kebun saya kepada pihak perusahaan karena masih mengandalkan hasil kebun. Sampai masyarakat Desa Gemaf sudah menyerahkan semua kebun mereka ke perusahaan, barulah saya mempertimbangkan menjual atau tidak,” ujarnya.

Petugas pengukuran itu merupakan orang perusahaan yang harusnya bekerja jujur, namun yang terjadi mereka manfaatkan untuk meraih keuntungan dengan mengalihkan selisih luas lahan yang telah diukur dengan nama pihak lain sebelum dijual ke perusahaan.

Senada dengan Max,  Abner Dowongi (50 ), warga Kobe Kulo mengungkapkan pada Januari 2024, Pemerintah Desa Kulo Jaya mengadakan rapat dengan masyarakat. Mereka membahas rencana pelepasan lahan desa yang akan disewa  PT IWIP seluas 7 hektar. Dalam kesepakatan rapat, perusahaan mencairkan anggaran sewa lahan yang  nanti dimanfaatkan untuk bangun masjid dan gereja. Sisanya dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk tali asih.

Warga sendiri sudah tahu jika pihak perusahaan telah membayar lahan ke pemerintah desa sebesar Rp 1,5 miliar, tetapi hingga kini anggaran itu tak kunjung direalisasikan sesuai peruntukannya. “Karena itu, masyarakat bersama anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mendatangi rumah Kepala Desa Kulo Jaya, Fadli Sirajuddin, mempertanyakan pencairan anggaran itu dan kesepakatan pembagian  dana seperti disepakati melalui rapat sebelumnya,” katanya.

Foto: Masyarakat Kobe Kulo palang kantor Desa karena Kades Gelapkan Harga Lahan

Harga NJOP di Kawasan PSN Tak Berlaku

Terkait proses jual beli lahan di sekitar PSN Weda terutama di Desa-desa ring 1 PSN  seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf warga tidak punya dasar harga jual tanah dalam bentuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Karena itu ketika warga melepaskan hak lahan mereka kepada perusahaan, seringkali tidak diketahui secara detail luas lahan yang mereka jual, termasuk standar harganya.  Informasi tersebut lebih jelas berada di Kepala Desa dan jajarannya, yang bertanggung jawab mengeluarkan Surat Keterangan Tanah  (SKT).

Akhirnya warga  menjual lahan kepada perusahaan,  dengan harga  sangat rendah, berkisar antara Rp8. 000 hingga Rp9. 000 per meter. Harga tanah ini ditetapkan oleh pemerintah daerah. Mantan Bupati Halmahera Tengah, Edi Langkara, saat menjabat Bupati periode 2017- 2022 menerbitkan SK yang menetapkan nilai tanah sebesar Rp 9. 000 per meter. Edy juga berinisiatif memediasi masyarakat dan perusahaan, yang menghasilkan pembayaran tali asih  Rp 2. 500 per meter.

Masyarakat yang menjual lahan juga tidak menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), melainkan berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah yang mematok harga tanah sebesar Rp. 9. 000 per meter. Di sisi lain,  lahan milik warga di kawasan hutan, oleh pihak perusahaan tambang enggan memberikan ganti rugi.  Hal ini karena dianggap berada di area hutan produksi. Pemerintah daerah berusaha melakukan mediasi dengan perusahaan memberikan pembayaran tali asih Rp 2. 500 meter.

Warga sebenarnya menyadari pentingnya mempertahankan lahan sejak izin PT Weda Bay Nickel masuk di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Adanya konsesi ini menyebabkan mereka kehilangan akses ke lahan yang telah dikelola turun- temurun. Mereka juga kehilangan akses ke hutan untuk mencari berbagai kebutuhan. Awalnya, hanya tiga komunitas masyarakat adat Sawai di wilayah konsesi, yang terkena dampaknya yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Namun saat ini, hamper seluruh desa suku Sawai telah masuk area konsesi.

Warga menyoal harga tanah mereka tidak dibayar berdasarkan NJOP.  Padahal jika merujuk ke NJOP yang ditetapkan Pemkab Halmahera Tengah di desa lain seperti di Nusliko nilainya mencapai Rp32 ribu meter.

Penjelasan Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan Perbatasan Setdakab Halmahera Tengah, Sofyan Abdul Gafur, seperti dirilis media  pada Maret 2020 menyebutkan bahwa, NJOP di Nusliko sebesar Rp 32 ribu per meter.  “Kita punya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)  Rp. 32 Ribu,’ katanya  ketika merespon persoalan lahan proyek pembangunan jalan lingkar di Desa  Nusliko,” ungkapnya.

Dengan dasar ini saja jika tanah warga dibayar berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar itu, maka seharusnya warga yang berada di kawasan industri, masih bisa mendapatkan nilai jual tanah yang sesuai, atau bahkan lebih dari harga negosiasi.

Masri Anwar, warga Desa Sagea yang juga ikut mempertahankan lahan kebun orang tuanya,  menyebutkan, harga tanah di Weda Tengah sampai saat ini tidak ada kejelasan. Masyarakat maupun Pemerintah Desa tidak tahu berapa nilai tanah berdasarkan NJOP.  Padahal, wilayah Weda Tengah yang berada dalam kawasan industri, memiliki harga tanah yang pasti berbeda dengan SK Bupati Halmahera Tengah saat ini. “Setiap wilayah, pasti memiliki nilai berbeda. Weda Tengah sampai ke Weda Utara ini masuk kawasan industri,” katanya.

Munadi, bilang perusahaan dalam membebaskan lahan warga di Halmahera Tengah tidak berdasarkan NJOP. Padahal saat ini PT IWIP ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tanah di kawasan Industri sudah bernilai strategis, sehingga harga jual tanah juga berdasarkan NJOP yang ditetapkan Badan Pertanahan Nasional  (BPN) dengan nilai besar.  “Sayang di lapangan pembebasan lahan warga Halteng, justru tidak berdasarkan NJOP, tapi atas dasar negosiasi perusahaan dengan warga,” katanya.

Lebih miris Pemerintah Desa bekerjasama dengan perusahaan mendorong warga menjual lahan dengan harga sangat rendah. Pemerintah desa beralasan nilai tanah per meter berdasarkan Peraturan Daerah. Negosiasi jual beli lahan bukan terjadi antara perusahaan dengan warga namun dengan pemerintah daerah.

Warga yang mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT) di desa turut dikenakan biaya administrasi Rp100. 000 per surat yang diterbitkan. Terkadang bisa lebih lebih mahal. Selain itu aparat desa  yang mengurusnya mendapatkan imbalan.  Pemerintah Desa menerima pembayaran tambahan dari pihak perusahaan setiap bulannya. Rata-rata, perusahaan yang  beli lahan warga memerlukan surat keterangan dari desa. Surat itu mencantumkan harga jual lahan  yang ditentukan. Tanpa surat itu perusahaan tidak akan membayar lahan warga. Karena itu, Pemerintah Desa terlibat memfasilitasi perusahaan membeli lahan warga dengan harga rendah.

Mahmud Ali warga Sagea menyebutkan, sebagian besar lahan warga di belakang kampung Sagea telah dijual ke perusahaan. Sayangnya standar harga jual tanah  per meternya  tidak diketahui secara pasti. Harga tanah itu bervariasi mulai dari Rp7000, Rp9000, Rp 12.000   hingga ada yang Rp 20.000 per meter.

“Jadi tidak ada patokan harga yang  pasti. Lahan milik saya ada standar harga tertera di dalam sertifikat yaitu, Rp25 000 per meter, tapi harga yang perusahaan tawarkan di bawah harga sertifikat, jadi kami tidak mau jual,” katanya.

Desakan agar standar harga tanah melalui NJOP ini sudah disuarakan mahasiswa Sagea dengan aksi demonstrasi. Tujuannya patokan harga tanah bisa  Rp 50. 000 per meter, namun tidak terealisasi.

Mahmud bilang, Surat Keterangan Desa (SKD) membantu proses penjualan lahan, dan pemerintah desa pun akan mendapatkan jatah hingga Rp1 juta untuk setiap SKD yang diterbitkan. Tim  pengukuran lahan biasanya warga lokal yang bekerja di perusahaan.

Wati Samad (46) tahun warga Sagea mengatakan,  sebagian warga masih mempertahankan lahan mereka. Terutama yang masih dianggap berpotensi di masa depan.  Masyarakat yang paham berusaha tidak dijual. Bahkan mahasiswa juga  melakukan advokasi dan aksi meminta orang tua  tidak menjual lahan yang dimiliki. Namun hal ini tidak  mengubah kondisi saat ini.

Aktor yang Terlibat Jual Beli Lahan Warga

Dalam pembelian lahan oleh perusahaan, harga ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan warga.  Pada 23 Desember 2024, tim penulis mencoba menelusuri NJOP ini dari BPN Wilayah Maluku Utara, BPN Halmahera Tengah bahkan ke pemerintah daerah hingga kantor Pajak dan Kantor Perbendaharaan Negara untuk mengkroscek dokumen ini. Sayangnya para pihak yang ditemui terkesan berbelit-belit. Mereka saling lempar soal keberadaan dokumen ini.

Bahkan saat tim mendatangi kantor BPN Halmahera Tengah untuk mengkonfirmasi nilai NJOP juga sama berbelitnya. Beberapa staf yang ditemui beralasan para pejabat berwenang termasuk Kepala BPN Halmahera Tengah  tidak berkantor. “Kami tidak bisa melayani karena  para pejabatnya juga tidak ada,” kata Warno salah satu staf yang menjaga kantor BPN di  Desa Nurweda, Kecamatan  Weda Tengah  Kabupaten Halmahera Tengah.

Penetapan harga tanah biasanya menjadi wewenang Kepala Desa dan jajarannya yang mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Harga tanah ditentukan oleh pemerintah daerah, berkisar antara Rp 8. 000 hingga Rp 9. 000 per meter, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh mantan Bupati Halmahera Tengah, Edi Langkara.

Dokumen, Surat Keterangan Tanah (SKT) yang Diterbitkan Pemerintah Desa

Setali tiga uang  terkait adanya kutipan dana oleh desa saat pembayaran lahan  dan ikut membantu perusahaan mempercepat proses pelepasan lahan, ternyata ada benarnya.

Plt Kepala Desa Kiyaa Taslim Abdul Hamid dikonfirmasi tidak menampik dugaan keterlibatan desa memuluskan perusahaan mengambil lahan lahan produktif milik warga.  Di desa Kiya ini ada proses pembebasan lahan oleh  perusahaan tambang PT IWIP dan PT First Pasifik Mining (FPM). Tetapi terjadi sebelum dia menjabat.

Dia bilang, saat itu pemerintah desa memang berperan aktif mendampingi perusahaan mengukur lahan warga  dan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Hal ini karena dalam proses pembayaran lahan, perusahaan mewajibkan ada SKT maupun surat keterangan lahan yang dijual tidak bersengketa dari desa.  “Kalau tidak ada surat dari desa tidak diproses pembayaran lahannya,” kata Taslim di kediamannya, Selasa malam 18  Maret 2025.

Taslim, juga akui kutipan dana saat keluarnya SKT dari desa. “Biasanya warga menyerahkan uang Rp1.000.000  ke pemerintahan desa. Uang itu digunakan untuk biaya operasional, alat tulis dan kertas (ATK), honor tenaga yang buat surat serta uang rokok bagi kades sebesar Rp200.000. “Kalau surat jual beli yang diberikan desa tidak dipatok harus bayar berapa,tergantung keikhlasan penjual lahan,”akunya.

Selain itu jika harga lahan terjual dengan nilainya besar hingga mendekati miliaran,  biasanya ada sumbangan untuk desa. Nilainya mencapai Rp20.000.000 untuk pembangunan  masjid. Lalu apakah Pemdes juga menerima imbalan dari Perusahaan karena membantu memuluskan dan mempercepat pengambilan lahan lahan warga?. “Kalau Pemdes terima dari pihak perusahaan saya belum tahu. Yang  ada itu hanya dari pihak yang  jual tanah berikan ke desa,” kilahnya.

Sementara soal harga tanah yang pasti warga tidak tahu jelas. Apakah nilai jual tanah sesuai NJOP atau tidak. Sebab semua penjualan lahan di Kecamatan Weda Utara  sama. Tanah yang  memiliki dokumen sertifikat atau tidak nilai jualnya sama. Pihak perusahaan memberi nilai jual tanah bukan karena berisi tanaman atau karena ada kekayaan mineral. Harga tanah itu dinilai berdasarkan topografinya. Bergunung landai atau rawa.

“Saya contohkan saat PT Songhai (sebuah perusahaan asal China,red) yang punya konsesi di Sagea dan Kiyaa  melakukan  pembebasan lahan menggunakan spesifikasi lahan pegunungan, lahan  yang datar dan berawa,”

Harga lahan ini tidak berbeda jauh mesti punya sertifikat. Ada yang dihargai antara Rp 9 ribu hingga 12 ribu/meter. Nilai jual lahan tidak berdasar NJOP ataupun keputusan pemerintah daerah sesuai negosiasi antara perusahaan dan pemilik lahan. Jika  lobinya bagus harga bisa lebih bagus dan pastinya menguntungkan.  “Kami  juga bingung dengan penentuan harga lahan,” katanya.

Soal lahan warga yang telah dilepas, berdasarkan dokumen  yang dipegang tim penulis,  sepanjang 2022  lalu pemerintah desa Desa Sagea setidaknya mengeluarkan 300 lebih SKT. Di Desa Kiya juga ada ratusan SKT dikeluarkan untuk memuluskan PT IWIP, FPM  lakukan pembebasan lahan. Kehilangan ruang hidup petani terutama kebun dan lahan produktif melibatkan banyak pihak. Hasil penelusuran  tim penulis menemukan  para pihak memiliki peran negosiasi dan eksekusi di lapangan guna memuluskan  proses penjualan lahan.

Pengakuan AS, salah satu makelar pengadaan tanah yang berperan penting dalam penjualan tanah sejumlah desa di lingkar tambang mengaku, perannya mempengaruhi warga agar lepas lahan mereka.  AS menjadi salah satu aktor penting dalam pembebasan lahan warga desa Sagea dan Kiyaa. Saat dikonfirmasi Rabu (19/3/205) malam di kediamannya tidak menampik peran tim pembebasan lahan yang dipekerjakan perusahaan baik PT IWIP, Songhai dan PT FPM   mempengaruhi warga.

Aktifitas Pengerukan Tanah PT. Frist Pacifik Mining (FPM) Desa Sagea

Dia akui di setiap desa lingkar tambang, perusahaan menempatkan tim pengukur lahan serta tim pembebasan lahan. Di Sagea dan Kiyaa sedikitnya enam warga lokal atau tim khusus ditunjuk pihak perusahaan menangani  pembebasan lahan masyarakat. “Saya coordinator pembebasan lahan. Tugas utama saya mengukur lahan dan mempengaruhi warga melepas lahan mereka,” katanya.

AS juga  mengaku sempat menjadi karyawan di salah satu perusahaan dan masuk tim khusus yang dibentuk beberapa perusahaan itu. Dia, berperan aktif mempengaruhi para petani melepas tanah dengan harga semurah mungkin. Jika warga tidak mau lepas lahan,  tim pembebasan lahan datang setiap waktu hingga bisa terpengaruh dan dilepas/dijual.

Ada banyak cara dilakukan untuk merayu dan iming-iming, mendapatkan banyak uang. Selain itu ada strategi lain digunakan. Yakni perusahaan membeli di sekitar lahan warga yang tidak mau dijual. Tujuannya agar mereka dipersulit pergi ke kebun. Jika sudah begitu mereka pasti lepas tanah.

Dugaan warga, tim yang dibentuk pihak perusahaan,  saat proses pembebasan lahan sering kali ikut bermain mengurangi luasan lahan warga. Misalnya saat mengukur lahan menggunakan alat, tidak diukur dari batas- batas lahan. “Tim pengukur  banyak bermain, kalau ukur lahan warga, biasa dikurangi, nanti sisa lahan pengukuran dijual kembali oleh tim.

AS menambahkan, dalam proses pengukuran lahan, juga melibatkan pihak perusahaan dan pemerintahan desa. Hal ini karena diberikan mandate langsung oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah  mengawal pembebasan lahan. “Biasanya dalam pengukuran, pihak perusahaan yang turun langsung bersama Pemdes. Setelah pengukuran, Pemdes mengeluarkan surat keterangan tanah. Setelah itu baru dilakukan pembayaran,” tandasnya.

Mengenai harga jual lahan diakui tidak berdasarkan aturan yang ditetapkan Pemerintah. Nilai jual lahan tergantung  negosiasi pemilik lahan dengan pihak perusahan. Jika warga bisa mempertahankan lahan dengan harga yang diinginkan pihak perusahaan membayarnya.

“Sebaliknya jika dianggap terlalu tinggi diminta oleh pemilik lahan, maka tidak akan diproses. Kita tahan dulu sampai dia mau jual dengan harga murah. Saat pembebasan lahan  dan pembayaran akan dilihat lagi posisi lahan. Ada tiga kategori yaitu tanah berawa, di pegunungan  dan di wilayah datar,” katanya.

Anggota DPRD Halmaherah Tengah, Munadi Kilkoda, menyatakan bahwa perusahaan dalam proses pembebasan lahan warga di Halmahera Tengah tidak mengikuti NJOP yang berlaku. Ditambah dengan status PT IWIP sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) saat ini, tanah yang terletak di kawasan industri sudah memiliki nilai strategis. Oleh karena itu, harga tanah seharusnya disesuaikan dengan NJOP yang ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan nilai yang lebih tinggi.

“Sayangnya, di lapangan, proses pembebasan lahan di Halteng justru tidak mengacu pada NJOP, melainkan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan warga,” tuturnya.

Lebih menyedihkan lagi, Pemerintah Desa bersama perusahaan mendorong masyarakat untuk menjual tanah mereka dengan harga yang sangat rendah. Pemerintah Desa beralasan bahwa harga per meter tanah telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Negosiasi jual beli tanah tidak terjadi antara perusahaan dan warga, tetapi justru melibatkan pemerintah daerah.

Mengenai harga tanah yang dijual, diakui bahwa hal tersebut tidak mengikuti ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintah. Nilai jual lahan ditentukan melalui negosiasi antara pemilik tanah dan pihak perusahaan. Jika warga berhasil berdiri teguh dengan harga yang mereka inginkan, perusahaan akan membayar sesuai kesepakatan tersebut. Namun, jika harga yang diminta dianggap terlalu tinggi oleh pihak perusahaan, maka prosesnya tidak akan dilanjutkan.

“Kita tunggu sampai mereka setuju untuk menjual dengan harga yang lebih rendah. Saat pembebasan lahan dan pembayaran, kondisi tanah akan dinilai kembali. Ada tiga kategori yakni lahan berawa, lahan pegunungan, dan lahan datar,tambahnya.

Kawasan industri IWIP diberi ruang kelola mencapai 4.027,67 hektar.  Meski  begitu, di lapangan muncul konflik lahan dan hilangnya ruang hidup petani.  Kini luasannya diakomodir dalam RTRW naik menjadi 13,784 hektar.  Hal ini memunculkan kekuatiran dari warga.

Dok: Peta Rencana Pola Ruang dalam Perda RTRW Nomor 03 tahun 2024-2044 Kabupaten Halmahera Tengah

Revisi RTRW 2024-2043 Kepentingan Kawasan Industri Weda Bay

Konflik lahan dan hilangnya ruang hidup warga yang berada di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kabupaten Halmahera Tengah semaking meningkat. Sebab saat ini luasan kawasan Industri Wed Bay diakomodir dalam RTRW naik menjadi 13,784 hektar, dari sebelumnya diberi ruang kelola kawasan mencapai 4.027,67 hektar.

Pada 5 September 2024, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, telah mengesahkan revisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dari Perda No. 1 Tahun 2012 menjadi Perda No. 3 Tahun 2024. Peraturan Daerah setebal 241 halaman ini, berlaku sampai tahun 2043.

Salah satu alasan untuk revisi ini adalah penyesuaian dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), dan kebijakan yang berhubungan dengan Kawasan Industri Weda Bay. Kawasan industri IWIP saat ini yang seluas 4. 027,67 hektar, telah diperluas menjadi 13.784 hektar sesuai dengan perubahan Perda tersebut. Meskipun, sebelum disahkan, perusahaan berencana untuk memperluas hingga 15. 517 hektar, hanya 13. 784 hektar yang disetujui.

Sementara Luas wilayah Halmahera Tengah mencapai 227.683 hektar. Namun, saat ini, area tersebut berada di bawah tekanan 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencakup konsesi seluas 142. 964,79 hektar. Sekitar 60 persen dari luas itu, sudah dimanfaatkan untuk industri pertambangan. Di antara perusahaan yang ada adalah WBN dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Perusahaan ini merupakan kolaborasi antara tiga investor asal China, yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Kawasan IWIP menjadi perusahaan besar yang menguasai lahan di Weda Utara dan Weda Tengah. Selain itu, terdapat juga PT Takindo Energi, PT First Pacific Mining, PT Zong Hai, dan PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN).

Menurut dokumen Studi AMDAL Rencana Kegiatan Pengembangan Kawasan Industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park yang dipresentasikan di Ternate pada 17 November 2023, PT IWIP berencana melakukan perubahan dan penambahan beberapa kegiatan di dalam kawasan industri PT IWIP. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa langkah ini sejalan dengan rencana induk kawasan industri.

Rincian tentang rencana pengembangan kawasan industri PT IWIP melibatkan peningkatan pengolahan dan pemurnian feronikel dari 70 lines menjadi 80 lines. Pabrik ekstraksi logam akan memanfaatkan larutan berair, seperti air atau pelarut lain, untuk memisahkan logam dari bijih atau material lainnya melalui hidro metalurgi dengan proses HPAL (High Pressure Acid Leach) .

Proses ini akan mengekstrak nikel serta kobalt dari bijih nikel laterit (limonit) dengan menggunakan asam sulfat pekat, suhu dan tekanan tinggi dalam autoklaf, dengan kapasitas tahunan sebesar 420.000 ton nikel dan 50.000 ton kobalt, yang akan meningkat menjadi total 660.000 ton nikel per tahun.

Untuk smelter battery litium karbonat (Li2CO3), yang merupakan bahan utama dalam pembuatan baterai lithium-ion, terdapat penambahan kapasitas dari 48.000 ton per tahun menjadi 96.000 ton per tahun. Smelter nikel sulfat berkapasitas 200.000 ton per tahun akan mengolah bijih nikel menjadi nikel sulfat, yang merupakan komponen penting untuk produksi baterai lithium-ion. Selain itu, juga ada smelter nikel metal dengan kapasitas serupa. Side Blow Furnace, yang merupakan tipe tungku peleburan logam, menggunakan udara yang ditiup dari sisi tungku untuk mencairkan logam dan biasanya digunakan dalam pembuatan baja serta logam lain.

Terdapat teknologi tungku tiup samping dengan 32 lines. PLTU juga akan ditingkatkan dari 6560 MW menjadi 7320 MW, dan pembangunan PLTS akan berkembang dari 1000 MW menjadi 2000 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dari kincir angin sebesar 800 MW akan ditambah, dan pelabuhan yang sebelumnya memiliki kapasitas 1.100.000 Dead Weight Tonnage (DWT) akan meningkat menjadi 1.650.000 DWT. Di samping itu, pengambilan air baku yang saat ini dari sungai Kobe, Ake sake, dan Wosea sebanyak 12.000 m3/jam akan ditambahkan dari Sungai Sagea dengan kapasitas 15.000 m3/hari, sehingga total menjadi 27.000 m3/hari.

Jumlah tenaga kerja juga akan meningkat dari 50.000 menjadi 100. 000 orang, serta ada rencana untuk membangun laboratorium yang dapat menguji ore hingga 3.000.000 ton per tahun. Selain itu, akan ada peningkatan kapasitas pabrik electrolytic nickel dari 30.000 ton per tahun menjadi 50.000 ton per tahun. Sesuai dengan jadwal yang tercantum dalam dokumen studi AMDAl, kegiatan pengembangan kawasan industri ini direncanakan berlangsung hingga Mei 2026.

Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, di bawah pimpinan mantan Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan Daerah (Bappelitbangda) Salim Kamaluddin, menyatakan, Pemda Halteng berkomitmen untuk mendorong pengembangan kawasan industri ini demi menciptakan pemerataan dan keadilan ekonomi.

Di Kecamatan Patani, mereka berencana untuk mengusulkan cadangan kawasan industri seluas 5 ribu hektar. Tujuannya adalah agar daerah seperti Kecamatan Patani dapat berkembang seiring dengan kawasan di Weda. Oleh karena itu, muncul usulan untuk menambah kawasan industri di area tersebut. “Ini hanya sebuah usulan, jika ditolak, maka akan dibatalkan,”ujarnya.

Pengajuan penambahan kawasan industri dalam revisi RTRW diakui melibatkan seluruh pihak, termasuk Pemerintah Daerah dan DPRD. Dia menjelaskan bahwa permintaan untuk menambah kawasan industri sebenarnya berasal dari DPRD Halteng, sehingga Pemda turut mendorong hal tersebut. Semua pihak disebut berkontribusi dalam mendorong revisi RTRW ini.

“Jika ada yang menyatakan adanya indikasi titipan untuk lahan industri seluas 5 ribu hektar, informasi tersebut sangat menyesatkan,” bantahnya.

Sedangkan mengenai proses pembebasan lahan yang masif di Weda Tengah, Weda Timur dan Kecamatan Weda Utara, dikarenakan warga sendiri yang ingin menjual tanah mereka. Dalam proses pembebasan lahan, biasanya perusahaan akan mengirim surat kepada Pemda, setelah itu Pemda akan mengumpulkan pemerintah desa untuk memastikan bahwa pembebasan lahan dapat berjalan dengan baik, dan lahan yang dijual warga benar-benar tidak ada masalah.

Anggota DPRD Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda, menjelaskan bahwa usulan untuk mengubah RTRW Halmahera Tengah telah diajukan sejak era kepemimpinan Bupati Edi Langkara pada sekitar tahun 2018. Namun, proses pembahasannya terhenti karena ada persoalan mengenai batas wilayah yang belum teratasi. Menurutnya, saat itu DPRD Halmahera Tengah masih mematuhi undang-undang tentang tapal batas wilayah.

Pembahasan kemudian dipercepat ketika Plt Bupati Halmahera Tengah, Ikram Malan Sangadji, menjabat. Ikram dilantik sebagai Plt Bupati pada Senin, 26 Desember 2022, menggantikan Edi Langkara yang telah memasuki masa akhir jabatannya oleh Gubernur Maluku Utara, almarhum KH. Abdul Gani Kasuba, yang menjabat pada waktu itu.

Pelantikan Ikram didasarkan pada keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 100.2.1.3.-6272 tahun 2022 mengenai penunjukan penjabat bupati Halmahera Tengah di Provinsi Maluku Utara. Setelah menjabat selama dua tahun, masa jabatannya diperpanjang hingga pemilu kepala daerah 2024.

Sementara itu, Edi mendaftar sebagai calon Bupati Halmahera Tengah. Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024, pasangan Ikram M Sangadji dan Ahlan Djumadil bersaing dengan mantan Bupati Edi Langkara dan Abdurahim Odeyani, serta Mutiara Yasin dan Salim Kamaludin. Akhirnya, Ikram M Sangadji dan Ahlan Djumadil terpilih sebagai bupati dan wakil bupati untuk periode 2024 hingga 2029. Mereka, yang dikenal dengan akronim IMS-ADIL, dilantik secara bersamaan oleh Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Negara pada Kamis, 20 Februari 2025.

Dalam pengubahan dokumen RTRW tersebut, Munadi menyatakan bahwa Ikram sangat mendesak DPRD untuk mempercepat revisi Perda RTRW 2012-2032, yang akhirnya disetujui menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2024-2043. Permintaan ini bertujuan agar RTRW bisa mencakup kebutuhan untuk memperluas kawasan industri Weda.

Plt Bupati pada waktu itu terlibat aktif dalam mendorong perluasan kawasan industri. Dia beberapa kali mengundang pihak IWIP untuk bergabung dalam rapat-rapat mengenai RTRW. Saya pernah mengungkapkan keberatan dan meminta agar IWIP tidak diikutsertakan dalam pertemuan mengenai RTRW,sebut Munadi Kilkoda, Wakil Ketua DPRD Halteng, pada awal Desember 2024.

Dia juga menambahkan bahwa ada hal yang tidak beres dalam pembahasan revisi RTRW. Beberapa anggota DPRD Halteng yang awalnya setuju dengan penambahan luas kawasan Weda dari 4. 000 hektar menjadi 8. 000 hektar, namun setelah ada pertemuan dengan pihak PT IWIP di Ternate, luas kawasan industri tersebut kembali berubah.

Kemudian, terungkap bahwa pihak IWIP mengajukan perluasan kawasan industri hingga mencapai 15.000 hektar. Tetapi, setelah proses pengusulan, luas yang disepakati dan dimasukkan dalam dokumen Perda Nomor 3 Tahun 2024-2042 adalah 13.784 hektar. “Saat pembahasan dan perubahan luas kawasan industri tersebut, saya sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, saya merupakan salah satu anggota Bapemperda Halteng,” ungkapnya.

Kabupaten Halmahera Tengah, sebelum adanya eksploitasi besar-besaran tambang nikel, dikenal sebagai salah satu lokasi pertanian dan perkebunan yang menghasilkan kelapa, pala, cengkeh, serta kakao. Area ini juga memiliki beberapa kawasan transmigrasi yang berperan sebagai penghasil pangan di Halmahera Tengah.

Menurut data BPS Halmahera Tengah tahun 2015, luas perkebunan pala tercatat 11.098,50 hektar, kelapa 10.246,00 hektar, cengkeh 1.490,00 hektar, dan kakao 3.436,00 hektar. Di Weda Tengah, yang kini menjadi pusat industri nikel, luas lahan pala mencapai 253,00 hektar, kelapa 830,00 hektar, cengkeh 70,00 hektar, dan kakao 361,00 hektar. Sementara itu, data BPS menunjukkan bahwa produksi kelapa dan pala mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir, dari 2018 hingga 2022.

Pada tahun 2020, Dinas Pertanian Halmahera Tengah mencatat panen padi di Desa Woejerana Weda Tengah mencapai 147,28 ton, menjadikannya salah satu desa lumbung pangan. Namun, pada 2021, panen jatuh drastis menjadi 81 ton karena banjir yang merusak tanaman. Desa ini, 38 kilometer dari Kota Weda, sebelumnya menyuplai pangan untuk Halmahera Tengah dan beberapa daerah di Maluku Utara. Akibat banjir besar pada 2020 dan 2021, banyak lahan pertanian tertimbun lumpur dan kini menjadi semak. Warga mencurigai bahwa kerusakan ini disebabkan oleh penambangan nikel di hulu. Desa ini, yang dihuni oleh 256 keluarga dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat sejak 1991, kini mengalami perubahan besar, berubah dari lumbung pangan menjadi daerah pelepasan lahan untuk PT IWIP.

Di Sagea, hutan sagu yang menjadi sumber pangan bagi komunitas lokal kini telah masuk dalam wilayah konsesi pertambangan. Hutan sagu yang dikenal oleh penduduk Sagea sebagai aha sagu dan terletak tidak jauh dari desa sudah termasuk dalam konsesi tambang. Diperkirakan, luas wilayah hutan sagu itu sekitar 50 hektar. Sementara itu, ladang kelapa dan pala milik warga Sagea hampir habis bahkan sebelum kawasan industri ditetapkan.

Di desa ini, terdapat 7 warga yang masih berusaha mempertahankan kebun mereka. Selain itu, banyak lahan yang sudah dijual kepada perusahaan, terutama ladang yang berdekatan dengan desa dan jalan utama.

Terkait pembebasan lahan, pihak PT IWIP telah memberikan tanggapan. Enam pertanyaan yang disampaikan secara tertulis oleh tim penulis melalui media hubungan masyarakat PT IWIP. Pertanyaan pertama diajukan pada 23 Maret 2025, tetapi belum memperoleh respons. Tim penulis kemudian mengirimkan daftar pertanyaan lagi pada 16 April 2025 dan baru mendapatkan jawaban pada 28 April 2025.

Tim Penulis Harus Menunggu Lama Untuk Menerima Tanggapan. Melalui Setya Yudha Indraswara, Manajer Komunikasi PT IWIP menjelaskan bahwa proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), telah mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Penentuan harga lahan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah nomor 970/KEP/153/2018 mengenai Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk Sektor Perdesaan dan Perkotaan. Ia menambahkan bahwa nilai pembebasan lahan dapat meningkat dengan adanya nilai tambahan tanaman di lahan tersebut. Selama proses pengukuran dan pembebasan lahan, tidak ada paksaan atau pengurangan ukuran secara sepihak. Setiap pengukuran lahan selalu dilakukan secara bersama antara pengelola lahan, staf desa, dan wakil perusahaan,ujarnya.

Ia juga menerangkan bahwa hasil pengukuran perlu disepakati oleh ketiga pihak sebelum proses dilanjutkan. Penjelasan ini ternyata bertolak belakang dengan pengakuan masyaraka.

Jawaban PT.IWIP Terhadap Pertanyaan yang Diajukan

Regulasi Tak Jamin Ruang Hidup Masyarakat Aman

Problem ruang hidup dan tanah di lingkar PSN sempat diteliti beberapa lembaga salah satunya Transparansi Internasional (TII). Riset berjudul “Laporan Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya–Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah 2024 itu tim peneliti mengungkapkan bahwa, perusahaan yang telah mendapat izin beroperasi di “tanah negara”tidak ada hubungan langsung dengan hak masyarakat sekitarnya. Karena itu meskipun ada lahan dan kebun milik masyarakat di atas wilayah konsesi itu, tanah diwariskan turun- temurun lebih dari 20 tahun sekalipun tetap tidak diakui sebagai hak milik pribadi.

Penelitian dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dipimpin Rusdin Alauddin dan rekan-rekan pada 2016, yang meneliti sengketa lahan akibat kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara, menunjukkan konflik lahan dengan pelaku usaha pertambangan sulit dihindari bahkan cenderung meningkat karena berbagai faktor.
Dalam hal regulasi misalnya dari tingkat nasional hingga lokal tidak menjamin penyelesaian masalah lahan secara efektif. Masyarakat sering kali jadi korban ketidakadilan yang muncul dari produk hukum yang dihasilkan.

Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga makin memperburuk posisi masyarakat, menjauhkannya dari keadilan yang seharusnya mereka terima. Perasaan ketidakadilan itu membuat warga apatis ketika membahas kesejahteraan dan kemakmuran yang seharusnya dihasilkan dari perusahaan di daerah mereka.
Kurangnya perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah juga berdampak pada penolakan masyarakat, yang terkadang berujung tindakan anarkis, merugikan tidak hanya warga, tetapi juga perusahaan dan pemerintah.

Ada beberapa penyebab konflik lahan antara pelaku usaha dan masyarakat. Studi itu menunjukkan besaran ganti rugi lahan merupakan permasalahan utama. Ada 49 persen responden merasa dirugikan karena kompensasi tidak sesuai harapan. 20,67 persen responden mencatat adanya tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi penyebab konflik. Beberapa pihak mengklaim hak atas sebidang tanah yang sama.

Permasalahan ganti rugi tanaman juga menjadi titik persoalan. 10 persen responden melaporkan keberadaan perusahaan tambang menimbulkan konflik, terutama karena banyak tanaman warga belum mendapatkan ganti rugi yang layak. Permasalahan ini umumnya terjadi di kawasan pertambangan PT. WBN/IWIP di Kabupaten Halmahera Tengah.

Selain itu sengketa batas wilayah dan kurangnya komunikasi juga masalah yang signifikan.
Tidak hanya terjadi antara Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tetapi juga antar desa.  Terakhir, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga teridentifikasi, belum dijalankan  dengan baik dan benar.

Riset ini merekomendasikan agar pemerintah daerah meninjau regulasi di bidang pertanahan, khususnya penentuan besaran ganti rugi lahan untuk masyarakat. Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan kepentingan masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Perlu dilakukan sebelum izin diberikan kepada pelaku usaha pertambangan. *

——
Reportase ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan Tim Tiga Maluku Utara, Mahmud Ici, Sahrul Jabidi, Suryani S Tawari, Fadli Kayoa, Mario Pangabea serta Independen.id sebagai bagian dari program Mengawasi Proyek Strategis Nasional yang didukung AJI Indonesia dan Kurawal Foundation.

 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan