Pelatihan Peningkatan Kapasitas Perangkat Adat Kesultanan Jailolo Disoal
Ternatehariini – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara yang mengadakan acara bertajuk “Pelatihan Peningkatan Kapasitas Perangkat Adat Kesultanan Jailolo” mendapat kritik tajam, dari tokoh Kesultanan Jailolo serta masyarakat Halmahera Barat.
Acara yang dibuka secara langsung oleh Kepala Dikbud Abubakar Abdullah ini, dianggap memiliki kesalahan dalam konsepnya, serta mencerminkan kurangnya pemahaman, dalam pengelolaan birokrasi yang mengabaikan martabat dan susunan adat yang sudah ada jauh sebelum negara terbentuk.
Menurut, Sultan Jailolo Muhammad Sidik Sjah, menyatakan, pelaksanaan pelatihan yang diadakan di Kadaton Jailolo, dinilai sebagai bentuk campur tangan yang jelas dalam permasalahan internal di Kesultanan Jailolo yang sedang berlangsung, dan terkesan merendahkan lembaga adat yang mengklaim mewakili Kesultanan Jailolo.
Dikatakan, pelatihan warisan budaya seharusnya disambut baik oleh pemerintah untuk berkolaborasi dalam pengembangan dan pelestarian tradisi lokal, namun tidak seharusnya memaksakan tafsir hingga menjadikan kegiatan tersebut, seolah-olah para perangkat adat memerlukan pengajaran.
Program pelatihan yang dilakukan itu, seharusnya tidak diartikan bahwa Dikbud Provinsi mengajarkan adat kepada pihak yang berwenang, karena itu adalah kesalahan. Siapa yang seharusnya menjadi guru dan siapa yang menjadi murid?. Mungkin perangkat adat dan yang diklaim sultan tersebut, memang tidak mengetahui dan memahami adat, sehingga perlu diberikan penguatan, padahal kesultanan seharusnya merupakan pusat pengetahuan tentang adat dan budaya setempat,” jelas Kaicil Muhammad Sidik Sjah, Selasa 3 Juni 2025.
Ia juga menegaskan, saat ini masyarakat adat Kesultanan Jailolo masih terpecah akibat adanya dua kepemimpinan sultan yang belum mendapatkan pengakuan penuh dari masyarakat adat. Artinya, dualisme kepemimpinan simbolik ini harus diselesaikan terlebih dahulu.
Ketika terjadi dualisme dalam Kesultanan Jailolo, pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat dan Provinsi Maluku Utara harus menjaga netralitas dan rekonsiliasi sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Pemda harus menjaga ketertiban umum dan hubungan antar masyarakat.
“Terkait dengan Etika Administrasi Publik, “Pemerintah tidak boleh menjadi penyebab konflik horizontal”. Keterlibatan dalam satu pihak melalui penyelenggaraan kegiatan resmi atau seremonial dapat memberikan pengakuan sepihak yang bisa memicu konflik di kalangan masyarakat adat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ia berharap pemerintah daerah sebagai pengayom masyarakat dalam situasi polemik ini, harus berperan sebagai fasilitator serta mediator dalam menyelesaikan konflik kepentingan kepemimpinan yang belum ada kejelasan.
“Pemerintah daerah harus bersikap netral. Tidak boleh mengadakan kegiatan yang bisa dianggap mendukung salah satu pihak secara sepihak. Kegiatan yang melibatkan Kesultanan harus dihindari sementara waktu atau dilakukan dengan pendekatan dialog antara kedua pihak. Apa yang kami sampaikan berkaitan dengan UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2), di mana Negara menghormati lembaga adat selama sesuai dengan prinsip NKRI,” pungkasnya. (Ay)







