Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara WALHI Malut; Perubahan Fungsi Area Hutan Picu Banjir dan Longsor di Ternate

WALHI Malut; Perubahan Fungsi Area Hutan Picu Banjir dan Longsor di Ternate

Banjir di Kota Ternate; Dok Tim SAR

Ternatehariini – Banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah di Kecamatan Ternate Ternate Selatan Kota Ternate, harus dilihat bahwa bencana yang terjadi merupakan bencana ekologis. Hal ini dikarenakan, perubahan fungsi area hutan yang dijadikan untuk bisnis properti.

Direktur WALHI Maluku Utara, Faizal Ratuela menyatakan, dari sudut pandang tata ruang, sebetulnya di daerah selatan yang sekarang mengalami banjir dan longsor, memiliki kemiringan tanah di atas 45 derajat, yang memicu risiko terhadap bencana lingkungan atau bencana yang terjadi akibat perubahan pola ruang.

“Situasi di wilayah selatan ini, seharusnya menjadi perhatian pemerintah Kota Ternate, karena peningkatan krisis iklim saat ini disertai dengan hujan yang sangat lebat,” kata Faizal.

Banjir di Kecamatan Ternate Selatan, terutama pada Kelurahan Gambesi, Sasa, dan Kelurahan Jambula, bukan baru pertama kali terjadi, sebab dua bulan lalu pada malam Idul Fitri, juga terjadi hal yang sama.

Faizal menjelaskan, pendekatan yang perlu dipahami bahwa, proses mitigasi terhadap pembebasan kawasan baik untuk perluasan pemukiman maupun untuk proyek perumahan harus lebih diperhatikan. Bisnis perumahan ini harus dievaluasi secara mendalam, karena pembukaan area yang berlebihan akan mengurangi daerah resapan, dan saat curah hujan tinggi, hal ini bisa menyebabkan banjir.

Pembangunan perumahan dan indekos yang tinggi di Gambesi, Sasa, dan Jambula perlu dilihat dari perspektif ekologi, karena kawasan tersebut merupakan daerah resapan serta daerah DAS.

Selain itu, penting juga bagi pemerintah Kota Ternate untuk mempertimbangkan kembali rencana reklamasi di daerah selatan, karena perubahan pada bentang alam dapat memicu banjir rob.

I menyebutkan, Pemkot Ternate perlu mengambil langkah-langkah bukan hanya dalam memperbaiki drainase, tetapi juga harus menangani masalah mendasar yang muncul akibat perubahan fungsi vegetasi hutan menjadi pemukiman baru.

“Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang tepat, tidak untuk menghambat pemukiman, tetapi untuk melindungi mereka dari bencana ekologis, harena hingga saat ini, edukasi yang memadai masih kurang. Jika langkah ini diabaikan, banjir akan semakin sering melanda daerah selatan,” katanya.

Sementara, untuk DPRD Kota Ternate seharusnya lebih serius terhadap bencana ekologis yang bukanlah hal baru, melainkan sudah terjadi sejak lama. Di daerah yang rawan bencana, DPRD tidak seharusnya hanya berkutat pada pernyataan politik, tetapi juga memanggil BPBD, PUPR, serta Bapelitbangda untuk menuntaskan masalah yang ada.

“Mitigasi tidak hanya bersifat proyek tunggal dalam normalisasi drainase, tetapi harus menilai daerah yang memiliki potensi tinggi terhadap bencana, sehingga perlu dilakukan normalisasi DAS dan pemasangan jalur rawan bencana, atau memasang alarm di lokasi yang rentan terhadap bencana,” ujarnya.

Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah korban bencana, terlebih dengan RTRW Kota Ternate yang masih belum final, penting untuk mengingat bahwa tata ruang kota Ternate tidak hanya berfokus pada kepentingan ekonomi, tetapi juga harus memastikan daya tampung dan daya dukung yang ada.

“DPRD Ternate, harus memahami bahwa meskipun Ternate adalah sebuah pulau dengan banyak sumber air bawah tanah, ia berisiko mengalami penurunan karena perubahan pada fungsi kawasan,” tandasnya.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan