Ternate Hari ini
Beranda Opini Maluku Utara dan Tambang Nikel: Menjaga Keseimbangan Antara Manfaat dan Resiko

Maluku Utara dan Tambang Nikel: Menjaga Keseimbangan Antara Manfaat dan Resiko

Fachri Dj Sangadji, Penggiat Tambang

Oleh: Fachri Dj Sangadji, Penggiat Tambang

Ternatehariini- Provinsi Maluku Utara saat ini tengah menjadi bagian penting dalam peta ekonomi global, khususnya di sektor pertambangannikel. Pulau Halmahera, sebagai wilayah utama penghasil nikel, kini dipenuhi aktivitas industri tambang yang sebagian besar berorientasi pada hilirisasi dan penyediaan bahan baku baterai kendaraan listrik.

Di satu sisi, ini adalah peluang besar bagi Indonesia untuk memainkan peran strategis dalam transisi energi dunia. Namun, di sisi lain, laju pertumbuhan tambang di Maluku Utara, memunculkan berbagai pertanyaan serius terkait keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.

Sejak beberapa tahun terakhir, kawasan industri berbasis nikel seperti di Obi (Harita Nickel Group) dan Weda Bay Nickel (PT IWIP) berkembang pesat. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2023), Maluku Utara memiliki lebih dari 200 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif, menjadikannya salah satu daerah dengan kepadatan izin tambang tertinggi di Indonesia.

Kontribusi sektor tambang terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara pada sektor pertambangan di tahun 2023 sekitar Rp 12,43 triliun atau mencapai 17,65 persen (BPS, 2024). Hal ini, menunjukkan ketergantungan ekonomi daerah terhadap industri ekstraktif. Sementara untuk data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara, pada sektor pertambangan di tahun 2024 belum dirilis BPS.

Namun, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: siapa yang paling diuntungkan? Di lapangan, masih banyak ditemukan kesenjangan antara janji pembangunan dan realitas sosial masyarakat. Komunitas adat dan nelayan, yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan dan laut, justru menjadi kelompok paling rentan terdampak ekspansi tambang. Banyak dari mereka kehilangan akses terhadap tanah ulayat, kawasan pesisir, dan sumber daya alam yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Proses peralihan lahan untuk kepentingan pertambangan juga kerap berlangsung tanpa keterlibatan yang memadai dari masyarakat. Sosialisasi sering dilakukan secara sepihak, partisipasi publik minim, bahkan dalam beberapa kasus, tidak jarang terjadi intimidasi terhadap warga yang mempertanyakan prosesnya. Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) 2023 mencatat setidaknya lima konflik agraria terkait pertambanganyang terjadi di Halmahera sepanjang dua tahun terakhir.

Di sisi lain, kerusakan lingkungan mulai terasa nyata. Aktivitas penambangan menyebabkan bahwa, deforestasi terjadi secara besar-besaran dan pencemaran sungai serta laut. Endapan lumpur dan limbah tambang mencemari wilayah pesisir, mengganggu habitat ikan, dan merusak wilayah tangkap nelayan. Beberapa sungai yang dahulu menjadi sumber air bersih kini tidak lagi bisa dikonsumsi.

Jika tidak dikendalikan, dampak ekologis ini berpotensi menjadi bencana jangka panjang yang mengancam masa depan ekosistem dan masyarakat.

Pengawasan terhadap pelaku usaha tambang pun masih sangat lemah. Banyak perusahaan yang belum menjalankan kewajiban pengelolaan lingkungan secara optimal, dan pelanggaran terhadap aturan kerap tidak disertai sanksi yang tegas. Laporan Audit lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menunjukkan bahwa, sebagian besar perusahaan tambang di Maluku Utara, belum memenuhi standar pengelolaan limbah dan reklamasi lahan pasca tambang.

Padahal, konstitusi Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika masyarakat lokal justru kehilangan akses, tergusur, atau terpinggirkan, maka ada yang salah dalam sistem pengelolaan tambang kita hari ini.

Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan pengelolaan pertambangan di Maluku Utara, dengan pendekatan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek harus diimbangi dengan pertimbangan sosial dan ekologis. Pemerintah Pusat dan daerah harus memperketat pengawasan, meninjau kembali izin-izin yang bermasalah, serta menjamin partisipasi bermakna dari masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi tambang.

Selain itu, perlu ada langkah serius untuk melakukan diversifikasi ekonomi daerah. Ketergantungan terhadap sektor tambang akan membuat ekonomi daerah rentan ketika harga komoditas jatuh atau ketika sumber daya itu kelak habis. Maluku Utara memiliki potensi besar di sektor perikanan, pariwisata bahari, dan pertanian berbasis kearifan lokal. Sektor-sektor ini tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga membuka lebih banyak ruang bagi partisipasi masyarakat.

Pertambangan bisa menjadi berkah bila dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan. Namun, jika yang terjadi adalah eksploitasi tanpa pengawasan, maka potensi berkah itu justru berubah menjadi kutukan.

Maluku Utara berada di titik persimpangan: melanjutkan pertumbuhan tanpa kendali, atau membangun dengan pendekatan yang lebih bijak dan berpihak pada masa depan.

Keputusan hari ini akan menentukan wajah Maluku Utara beberapa dekade ke depan, maka sudah waktunya pembangunan tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana ia menjamin keberlanjutan hidup, lingkungan, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Semoga apa yang dicita-citakan oleh Provinsi ini dapat terwujud dengan baik dan bijaksana. (*)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan