Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara PT IWIP di Halmahera Tengah: Raksasa Nikel yang Mengorbankan Alam dan Warga

PT IWIP di Halmahera Tengah: Raksasa Nikel yang Mengorbankan Alam dan Warga

PT IWIP Raksasa industri Nikel di Halmahera Tengah (Foto:Anak Esa)

Ternatehariini – Kawasan industri pengolahan logam berat terbesar di dunia, Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP), genap beroperasi selama tujuh tahun. Terletak di pesisir Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Proyek yang diinisiasi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kini telah menjadi pusat produksi nikel yang memukau dunia. Namun, di balik gemerlapnya angka produksi dan kemajuan teknologi, PT IWIP menyimpan kisah kelam tentang kerusakan lingkungan dan penaklukan alam yang menciptakan penderitaan bagi warga setempat.

Sejak diresmikan pada 30 Agustus 2018, PT IWIP tidak hanya menjadi raksasa industri nikel, tetapi juga simbol dari kolonialisme ekstraktif yang merampok sumber daya alam Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Aktivitas industri besar ini, yang melibatkan proses pembakaran, pemurnian, dan peleburan bijih nikel, berfungsi sebagai mesin pendorong ekonomi global, namun di sisi lain, merusak dan menaklukkan ruang hidup tradisional warga lokal.

Mardani Legayelol, juru bicara Save Sagea, menyebutkan bahwa seluruh rangkaian operasi PT IWIP mengarah pada penghancuran ekosistem dan hak hidup warga. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang terus memberi “karpet merah” bagi IWIP mencerminkan bagaimana negara lebih berpihak pada korporasi ketimbang rakyat.

“Seluruh ruang produksi IWIP merampas ruang hidup kami. Negara melihat IWIP sebagai simbol kemajuan, namun yang sebenarnya terjadi adalah penghancuran lingkungan hidup dan pencurian hak dasar kami,” ujar Mardani, Sabtu 30 Agustus 2025.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah 2024-2043, perluasan kawasan industri IWIP semakin meluas hingga mencakup lebih dari 13.000 hektare, lebih dari tiga kali lipat kawasan yang ada sebelumnya. Padahal, kawasan yang kini dikuasai oleh PT IWIP dulunya merupakan lahan pertanian dan sumber air bagi warga.

“Operasi IWIP merampas lahan pertanian, menghancurkan kebun, dan mencemari sungai. Kami kini terpaksa membeli pangan dari luar, bahkan air bersih pun harus dibayar, padahal sebelumnya bisa kami akses secara gratis,” tambah Mardani.

Tidak hanya merusak alam, operasi PT IWIP juga membawa ancaman serius bagi kesehatan warga sekitar. Laporan dari Nexus Foundation dan Universitas Tadulako mengungkapkan bahwa logam berat, seperti merkuri dan arsenik, telah mencemari lingkungan, masuk ke tubuh ikan, dan bahkan sampai ke tubuh manusia melalui rantai makanan. Sampel darah yang diuji menunjukkan kadar merkuri dan arsenik yang jauh melebihi ambang batas aman, meningkatkan risiko kerusakan organ dan gangguan kesehatan lainnya.

Laporan lain dari Narasi (2024) juga menyebutkan peningkatan kadar nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) sejak pabrik peleburan PT IWIP beroperasi. Polutan ini bereaksi dengan udara membentuk hujan asam, yang memperburuk kualitas lingkungan dan mengancam kesehatan warga.

Sebanyak 17.747 orang warga lokal yang tinggal dekat dengan pusat industri IWIP kini hidup dalam kondisi terancam. Mereka tinggal di desa-desa seperti Kulo Jaya, Lelilef Sawai, Woejerana, hingga Sagea—tempat di mana tanah mereka dulunya subur, kini hanya tersisa polusi dan kerusakan lingkungan.

Kejahatan Negara-Korporasi

Menurut Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, PT IWIP lebih dari sekadar industri besar yang beroperasi di Teluk Weda. IWIP terhubung dengan sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencakup nikel, batu gamping, dan batu bara di kawasan sekitarnya. Kerusakan ekosistem tidak hanya terjadi di wilayah Halmahera Tengah, tetapi juga meluas ke Pulau Gebe, Pulau Fau, hingga Pulau Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang hancur akibat eksploitasi tambang nikel.

“PT Weda Bay Nickel, salah satu pemasok utama nikel ke IWIP, menguasai lebih dari 45 ribu hektare lahan. Sementara itu, di Halmahera Timur, pertambangan nikel telah merusak sawah dan sungai, bahkan hutan adat yang penting bagi kehidupan masyarakat,” ungkap Julfikhar.

Sungai Sangaji yang terletak di Kecamatan Kota Maba, yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan warga, kini telah tercemar oleh limbah tambang. Proses pemurnian nikel di smelter IWIP juga menyebabkan kerusakan besar pada sungai-sungai vital ini.

Selain kerusakan daratan, dampak buruk juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya di laut. Pengangkutan ore nikel dengan kapal tongkang yang beroperasi tanpa henti telah mengganggu jalur tangkap ikan. Para nelayan di Maba Selatan dan Patani, Halmahera Tengah, mengeluh akan penurunan hasil tangkapan ikan mereka akibat aktivitas lalu lintas kapal pengangkut ore nikel.

Ekspansi Energi yang Mengancam, Kemajuan atau Perampokan?

Kawasan-Industri-Nikel-PT-IWIP-tahun-2025. (Foto:Anak-Esa)

Tidak hanya bahan tambang yang dieksploitasi, PT IWIP juga mengandalkan pasokan listrik dalam jumlah besar. Kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PT IWIP pada 2023 mencapai 6.560 megawatt (MW), dengan rencana penambahan kapasitas menjadi 7.320 MW. Pasokan energi ini sebagian besar bergantung pada batu bara yang dikeruk dari Kalimantan Timur, yang semakin memperburuk kerusakan lingkungan di kawasan lain.

Meski pemerintah Indonesia terus mempromosikan PT IWIP sebagai bagian dari transisi energi yang lebih ramah lingkungan dan solusi bagi krisis iklim global, kenyataannya justru memperlihatkan sisi gelap dari industri ekstraktif ini. “Kemajuan ekonomi” yang dijanjikan ternyata membebani masyarakat lokal dengan kerusakan ekologi, kesehatan yang memburuk, dan penghilangan hak dasar mereka atas lingkungan yang sehat. (Sahrul)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan