UU Minerba Dipakai Bungkam Warga Adat? Sidang Maba Sangaji Jadi Sorotan
Ternatehariini — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate bersama organisasi lingkungan Trend Asia menggelar diskusi publik bertajuk “Kriminalisasi Masyarakat Adat Menggunakan UU Minerba dalam Kasus Maba Sangaji” di Sabeba Kafe, Kelurahan Takoma, Kota Ternate, Minggu 12 Oktober 2025.
Kegiatan ini menyoroti proses hukum terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), dan dijadwalkan menjalani sidang putusan pada 16 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan.
Diskusi menghadirkan empat narasumber dari kalangan akademisi, pendamping hukum, dan aktivis lingkungan, yang mengkritisi penerapan Pasal 162 UU Minerba dalam kasus ini, yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Salah satu peserta diskusi, Kamaria Malik, istri dari salah satu terdakwa, menceritakan dampak penahanan suaminya terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat. Ia menyebut bahwa para terdakwa adalah tulang punggung ekonomi dan sosial komunitas.
“Lahan pertanian kami rusak karena aktivitas tambang. Tanaman mati. Para terdakwa hanya berjuang untuk mempertahankan hak-hak masyarakat,” ujar Kamaria.
Ia berharap majelis hakim memberikan putusan yang adil dan berpihak pada masyarakat kecil.
Kuasa hukum dari LBH Marimoi, Lukman Harun, menyatakan bahwa penerapan pasal dalam dakwaan tidak tepat. Ia menilai dakwaan terhadap warga adat merupakan bentuk kesalahan tafsir hukum dan upaya pembungkaman.
“Jaksa keliru dalam menuntut. Tidak ada penjelasan rinci bagaimana tindakan mereka dikategorikan sebagai tindak pidana. Ini bentuk kriminalisasi,” tegasnya.
Dosen Hukum Pidana Universitas Khairun Ternate, Aslan Hasan, menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan pola kriminalisasi yang sering terjadi di wilayah dengan potensi sumber daya alam.
“Ini cara sistematis untuk membatasi ruang gerak masyarakat dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup,” jelasnya.
Aslan menambahkan bahwa warga adat Maba Sangaji layak dibebaskan karena tidak ada unsur pidana dalam tindakan mereka.
Perwakilan Trend Asia, Irfan Alghifari, mengingatkan pentingnya melihat kasus ini dari sudut pandang masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan sumber daya alam.
“Mereka melawan karena hak hidup dan tanah mereka dirampas. Perspektif masyarakat adat harus dikedepankan,” ujarnya.
Sidang putusan terhadap 11 warga adat Maba Sangaji akan digelar pada 16 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Soasio, dan menjadi momen penting dalam menentukan arah perlindungan hukum terhadap komunitas adat di wilayah konflik sumber daya alam.







