Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara Tolak dan Lawan Tambang PT MAI, Ini Soal Ruang Hidup

Tolak dan Lawan Tambang PT MAI, Ini Soal Ruang Hidup

Ternatehariini — Warga Desa Sagea dan Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah didampingi Koalisi Save Sagea dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, kembali menegaskan penolakan total terhadap aktivitas tambang PT Mining Abadi Indonesia (PT.MAI).

Mereka nilai aktivitas tambang PT. MAI di dua desa setempat, sangat mengancam ruang hidup, lingkungan, dan identitas budaya mereka.

Protes ini terus mencuat setelah kunjungan Bupati Halmahera Tengah Ikram Malan Sangadji bersama Wakil Bupati Ahlan Djumadi dan Sekretaris Daerah Bahri Sudirman ke Desa Sagea pada Senin, 13 Oktober 2025. 

Pemerintah daerah datang untuk merespons protes warga, namun pertemuan itu justru mengecewakan. Pasalnya, pembahasan hanya terfokus pada ganti rugi dua unit mobil warga yang dirusak dan kompensasi atas lahan yang diserobot perusahaan.

“Ini bukan soal ganti rugi atau lahan yang dirusak. Ini soal ruang hidup kami, lingkungan kami, dan masa depan generasi kami,” tegas Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea, Selasa 21 Oktober 2025.

Masyarakat Sagea-Kiya menilai aktivitas tambang PT MAI telah melanggar berbagai aturan tata ruang dan lingkungan. Kawasan Karst Sagea—seluas 5.714 hektare, membentang dari Pegunungan Legayelol hingga Goa Bokimaruru dan Telaga Yonelo—merupakan ekosistem vital yang menopang sumber air dan kehidupan masyarakat sekitar.

Bagi warga, Karst Sagea bukan hanya bentang alam. Ia adalah ruang spiritual, sumber pangan, dan tempat ritual adat dijalankan.

“Karst dan telaga adalah warisan leluhur kami. Kami hidup dari sini, dan kami akan menjaganya,” ujar Mardani.

Selain nilai ekologisnya, kawasan ini juga memiliki status hukum penting. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029, Kawasan Karst Bokimoruru (Sagea) ditetapkan sebagai salah satu dari tiga kawasan prioritas konservasi di Maluku Utara. Sementara Peraturan Daerah (Perda) Halmahera Tengah No. 3 Tahun 2024 menetapkan wilayah Sagea sebagai Zona Kawasan Karst Kelas I, yang hanya boleh digunakan untuk konservasi dan penelitian, bukan untuk pertambangan.

Koalisi Save Sagea menilai, langkah pemerintah yang membiarkan PT MAI beroperasi di kawasan tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap hukum, hak-hak masyarakat adat, dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan.

“Perlawanan warga Sagea-Kiya bukan sekadar pertarungan atas tanah, tapi tentang hak untuk hidup dan menjaga bumi,” tegasnya. 

Warga berkomitmen akan terus menolak keberadaan tambang di wilayah mereka. Mereka menyerukan pencabutan seluruh izin tambang yang beroperasi di kawasan Sagea-Kiya, yang dianggap sebagai bentuk perampasan ruang hidup atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.

Kini, perjuangan warga Sagea-Kiya menjadi simbol perlawanan terhadap ekspansi tambang yang mengancam kawasan konservasi di Maluku Utara. Dengan tegas mereka menutup pernyataan:

“Sagea-Kiya adalah kehidupan kami. Karst dan Telaga adalah warisan kami. Kami akan jaga, kami akan lawan. Kami tidak butuh tambang.”

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan