Pesisir Subaim Tenggelam di Lumpur Tambang, LSM Borero Soroti Kegagalan Pemerintah
Ternatehariini – Pencemaran pesisir di Desa Subaim, Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur, akibat aktivitas tambang PT Alam Raya Abadi (PT ARA) dan PT Jaya Abadi Semesta (PT JAS) dinilai akibat pembiaran oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Pesisir LSM Borero Institute, Asmar Hi. Daud.
Menurut Amnar, dugaan pencemaran di pesisir Subaim yang berasal dari aktivitas pertambangan kedua perusahaan tersebut menjadi bukti lemahnya perlindungan negara terhadap masyarakat pesisir.
“Kerusakan pesisir, sedimentasi berulang, keruhnya sungai, rusaknya mangrove, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan adalah bentuk nyata degradasi sosial-ekologis. Ini bukan insiden biasa, melainkan pola sistematis yang terus dibiarkan,” ujarnya, Selasa 25 November 2025.
Akademisi Universitas Khairun Ternate ini menambahkan, pelanggaran yang terjadi berulang kali tidak pernah ditindak. Endapan lumpur terus muncul, namun tidak ada langkah korektif, investigasi tuntas, atau sanksi tegas dari pemerintah. Kondisi ini menjadi contoh paling parah lemahnya pengawasan industri ekstraktif di wilayah kaya sumber daya namun minim perlindungan.
Kerusakan ini juga berdampak pada produktivitas dan keberlanjutan sumber daya pesisir, penghidupan nelayan dan petani, kesehatan ekologis mangrove dan perairan pantai, serta stabilitas ekonomi keluarga pesisir. Dari sudut pandang akademik, kondisi ini menandakan gangguan menyeluruh pada sistem sosial-ekologis (Social-Ecological System/SES) di Subaim.
Amnar menegaskan, Pemerintah Kabupaten Haltim gagal menjalankan tanggung jawab moral dan konstitusional. “Dalih ‘kewenangan tambang ada di provinsi’ tidak sejalan dengan amanat perlindungan warga. Pemerintah kabupaten wajib turun tangan, menginvestigasi, mengadvokasi, dan memitigasi dampak, serta memastikan keselamatan warganya.”
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara juga dianggap gagal mengawasi sebagai otoritas formal pertambangan. Tidak ada tindakan nyata menghentikan kerusakan, sanksi administratif, penghentian operasi, atau audit publik yang transparan. Ini menunjukkan lemahnya komitmen terhadap lingkungan dan keselamatan masyarakat.
Dalam perspektif tata kelola publik, situasi ini merupakan governance failure, lahir dari lemahnya koordinasi dan minimnya keberpihakan pada masyarakat pesisir yang terdampak langsung.
“Masyarakat Subaim paling rentan, namun paling sedikit menerima perlindungan. Dari sisi environmental justice, kondisi ini menunjukkan ketimpangan: siapa yang menikmati manfaat, siapa yang menanggung beban, dan marginalisasi masyarakat pesisir dalam pengawasan tambang,” kata Amnar.
Keuntungan ekonomi dari aktivitas ekstraktif dinikmati di tingkat atas, sementara kerugian ditanggung masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada ekosistem pesisir.
LSM Borero Institute menuntut pemerintah kabupaten dan provinsi segera mengambil yaitu Melaksanakan investigasi menyeluruh dan independen, melibatkan akademisi, lembaga lingkungan, masyarakat lokal, dan institusi profesional kompeten. Menghentikan sementara operasi PT ARA dan PT JAS hingga audit lingkungan dilakukan secara transparan. Mewajibkan pemulihan ekologis terukur, termasuk rehabilitasi ekosistem pesisir, pemulihan sungai, dan pembersihan pantai sesuai standar ilmiah.
Menetapkan kompensasi layak bagi masyarakat pesisir, mencakup kerugian petani, nelayan, dan dampak ekonomi lainnya. Membangun tata kelola lintas-otoritas yang tegas agar tidak ada wilayah menjadi “korban kewenangan” akibat birokrasi yang saling melempar tanggung jawab. Penegasan moral: lingkungan hidup bukan korban sah pembangunan. Pesisir Subaim bukan ruang kosong untuk nilai investasi, dan masyarakat pesisir bukan angka statistik yang boleh diabaikan.
“Jika negara terus menghindar dari tanggung jawabnya, yang tenggelam bukan hanya ekosistem Subaim, tetapi juga martabat pemerintahan yang seharusnya melindungi rakyatnya,” tegasnya. Pernyataan ini disusun sebagai tanggung jawab moral dan akademik untuk menegakkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan hidup di Maluku Utara.







