AMBRUK Kecam PT JAS: Komitmen Mangkrak, Indikasi Dampak Tambang Menguat
Ternatehariini — Aliansi Masyarakat Budidaya Rumput Laut Bergerak (AMBRUK) Desa Fayaul mengecam keras sikap PT Jaya Abdi Semesta (JAS) yang dinilai tidak konsisten dalam memenuhi komitmen pembayaran kompensasi kepada petani rumput laut terdampak aktivitas perusahaan.
Kemarahan warga memuncak setelah pihak eksternal PT JAS kembali tidak hadir dalam pertemuan yang telah disepakati pada 10 Desember 2025. Sebelumnya, perusahaan menyatakan kesediaan untuk bertemu masyarakat dan menindaklanjuti hasil hearing yang difasilitasi AMBRUK dan pemerintah desa.
Kesepakatan awal antara AMBRUK dan Kepala Teknik Tambang (KTT) PT JAS dicapai pada 23 November 2025 dalam hearing di kantor perusahaan. Dalam pertemuan itu, PT JAS berkomitmen menggelar diskusi intensif dengan masyarakat Fayaul terkait pembayaran kompensasi pada minggu pertama Desember.
Namun jadwal tersebut kembali meleset. Pada 7 Desember 2025, pihak eksternal PT JAS justru menggelar pertemuan lanjutan dengan perwakilan masyarakat di Caffe Wisma Kita, Desa Bumi Restu. Pertemuan itu menyepakati bahwa PT JAS akan turun langsung ke Desa Fayaul pada 10 Desember.
“Nyatanya sampai hari yang disepakati, mereka tidak datang. Dan saat kami hubungi, alasan dari SPT Eksternal PT JAS sangat ambigu, tidak jelas, dan terkesan menghindar,” kata Koordinator AMBRUK.
Warga menilai perusahaan berulang kali mengatur jadwal sepihak namun tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan persoalan kompensasi.
Temuan Pakar: Indikasi Kuat Dampak Aktivitas Tambang
Di tengah ketidakpastian tersebut, hasil observasi ilmiah justru menunjukkan indikasi kuat bahwa aktivitas perusahaan berkontribusi terhadap gangguan lingkungan di area budidaya rumput laut.
Pada 6 Desember 2025, Komisi II DPRD Halmahera Timur menghadirkan pakar rumput laut Universitas Khairun Ternate, antara lain Prof. Dr. M. Irfan Koda, S.Pi., M.Si, Prof. Dr. M. Janib Achmad, S.Pi., M.Sc.
Tim pakar melakukan wawancara dengan petani rumput laut di Desa Fayaul dan Desa Nanas serta melakukan pengukuran kualitas perairan menggunakan water quality meter Horiba.
Hasil observasi yang dirilis pada 10 Desember 2025 menunjukkan sejumlah parameter perairan berada pada kategori tidak ideal pH: 5,71 (asam; jauh dari standar optimal 7–9), Salinitas: 25,08 ppt (normal 27–35 ppt), Kekeruhan: 2,6 meter (menandakan peningkatan materi tersuspensi), DO: 3,64 mg/L (di bawah standar >4 mg/L).
Kondisi tersebut dianggap dapat memicu gagal panen seperti yang terjadi pada puncak kegagalan rumput laut Juni 2025.
Menurut tim pakar, kondisi tersebut selaras dengan potensi dampak aktivitas pertambangan, seperti aliran sedimen, perubahan pH akibat limbah, peningkatan partikel tersuspensi, serta terganggunya penetrasi cahaya di kolom air.
Melalui pernyataan resminya, AMBRUK menegaskan bahwa PT JAS tidak boleh mengabaikan temuan ilmiah maupun komitmen yang telah disepakati bersama masyarakat.
“Kami bukan menuntut hal yang tidak masuk akal. Kami hanya meminta perusahaan hadir, mendengar, dan menyelesaikan kewajiban terhadap masyarakat Fayaul. Jika rekomendasi ilmiah sudah keluar dan indikasi dampaknya jelas, maka PT JAS harus bertanggung jawab, bukan berkelit,” tegas Koordinator AMBRUK.
Warga juga mengkritik pola komunikasi perusahaan yang dianggap tidak profesional dan merendahkan martabat masyarakat.
“Cukup sudah kami bersabar. Perusahaan harus berhenti mempermainkan jadwal dan alasan yang tidak masuk akal.”
Berdasarkan laporan pakar, gangguan parameter perairan di wilayah budidaya rumput laut dapat dipicu oleh Sedimentasi akibat aktivitas tambang yang meningkatkan kekeruhan air, menghambat fotosintesis, Penurunan pH dan salinitas akibat kontaminasi limbah, Endapan padatan yang menutupi area tanam rumput laut, Gangguan sirkulasi air akibat infrastruktur perusahaan.
Temuan ini memperkuat dugaan bahwa ruang hidup masyarakat pesisir, terdampak langsung oleh aktivitas industri PT JAS.
AMBRUK menyatakan, apabila perusahaan tetap tidak menunjukkan komitmen untuk hadir dan menyelesaikan persoalan kompensasi, masyarakat membuka opsi melakukan aksi besar.
“Aksi kami selama ini damai dan mengedepankan dialog. Tapi kalau perusahaan terus menghindar, kami akan ambil langkah tegas karena ini menyangkut hidup puluhan petani rumput laut,” ujar Koordinator AMBRUK.
Krisis rumput laut di Fayaul kini bukan hanya persoalan teknis, tetapi telah berkembang menjadi isu tanggung jawab perusahaan, kepercayaan publik, dan keberlanjutan lingkungan. Sementara temuan pakar menunjukkan gangguan kualitas lingkungan, PT JAS justru gagal menjaga komitmen pertemuan dengan masyarakat, memperlebar jurang konflik sosial–ekologis di wilayah tersebut







