Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara Menggali Potensi Budaya dan Kekayaan Alam di Kayoa Halmahera Selatan

Menggali Potensi Budaya dan Kekayaan Alam di Kayoa Halmahera Selatan

Foto: Mahmud Ici/Mongabay dengan Judul Guruaping, Kampung Mangrove di Garis Katulistiwa (Bagian 1)

Ternatehariini – Komunitas pemuda Kecamatan Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, berencana untuk menggelar kegiatan dengan tajuk “Ekspedisi Sanggamau Kayoa 2025”.

Ekspedisi isi akan berlangsung selama lima hari, dari tanggal 9 hingga 14 Juni 2025, di Guruapin, Kecamatan Kayoa, Halmahera Selatan.

Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menghimpun berbagai potensi sumber daya Kayoa serta menggali ragam budaya dan potensi alam, baik yang terdapat di laut maupun darat. Rangkaian acara selama ekspedisi direncanakan terdiri dari sekitar tujuh agenda.

Makna “Sanggamau” yang diusung dalam ekspedisi ini, diambil dari salah satu hewan purba yang dikenal masyarakat Kayoa. Hewan ini diyakini oleh warga setempat telah punah, walaupun berbagai artefak yang menggambarkan hewan ini mirip dengan dinosaurus yang mencari makan di darat dan laut.

“Cerita ayah saya tentang penemuan hewan ini di laut depan desa Guruapin pada akhir tahun 70-an sangat mirip dengan gambar-gambar dinosaurus. Bentuknya menyerupai dinosaurus kecil. Ayah saya juga pernah menggambar model hewan ini, sayangnya gambarnya hilang,” cerita M. Rahmi Husein, tokoh masyarakat Kayoa dan penasihat ekspedisi.

Pengakuan dan Cerita Hewan Sanggamau dengan Cara yang Sama.

Dr. Asia Hasyim, salah satu putra dari Desa Guruapin Kayoa, juga mengungkapkan bahwa berdasarkan wawancara dengan orang yang melihat hewan tersebut, pada akhir tahun 90-an, mereka menggambarkan ciri-ciri dan fisik hewan ini, yang menyerupai dinosaurus atau hewan purba.

“Pada tahun 1999, kami melakukan riset awal untuk mengungkap keberadaan hewan ini. Namun, sebelum riset dapat dilanjutkan, terjadi konflik horizontal yang menyebabkan lembaga pendanaan membatalkan kegiatan tersebut,” jelasnya.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa saksi yang melihat langsung, kata Asia, hewan ini muncul jelang malam di gua karst yang berada di tepi laut desa Guruapin.

Ciri-cirinya berkaki empat, dengan bagian belakang yang bergerigi dan punggung depan yang bercahaya seperti kilauan emas. “Ini bukan mitos, karena mereka menyaksikan langsung hewan ini. Memang pada saat itu, tidak ada kamera seperti sekarang ini, sehingga tidak bisa diabadikan,” tambahnya.

Rahmi menambahkan, selain menggali potensi Sanggamau, dalam ekspedisi ini juga akan diadakan forum diskusi grup (FGD) guna membahas kembali Tarian Soya Soya Kayoa, yang saat ini telah banyak tergerus oleh tarian panggung yang mengubah makna gerakan dan pesan yang terkandung dalam tarian tersebut.

“FGD ini bertujuan untuk mengembalikan Soya Soya pada filosofi dasarnya, baik dari segi gerakan maupun maknanya. Banyak gerakan yang lama kelamaan hilang dari substansinya. Kita perlu mengembalikannya ke bentuk aslinya, karena sudah banyak klaim yang menyertakan kombinasi gerakan baru yang mengubah arti,” ungkap Rahmi.

Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pengajaran dari para tetua yang seharusnya melestarikan tarian ini, sementara orang lain mengambil alihnya. Soya Soya adalah tarian perang, sehingga perlu ada pembahasan kembali mengenai maknanya.

Kegiatan lain yang akan dilaksanakan dalam ekspedisi ini adalah diving untuk melihat keindahan bawah laut Kayoa di beberapa spot, salah satunya di Pulau Wairoro Kayoa. Mengingat Kayoa memiliki banyak spot diving yang menarik, kegiatan ini diharapkan dapat menambah kekayaan pengalaman para peserta.

Di kawasan laut, terdapat pula turnamen menyelam tanpa alat yang menarik perhatian. Rekor juara dunia untuk lomba menyelam tanpa peralatan adalah sekitar 13 menit. Namun, masyarakat Kayoa meyakini bahwa ada penyelam di daerah mereka yang mampu melampaui waktu tersebut.

Hal ini tidak terlepas dari kedekatan mereka dengan laut yang telah menjadi bagian dari tradisi. “Berenang dan menyelam merupakan warisan tradisi yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Kayoa,” ungkapnya.

Selain menyelam, terdapat kegiatan jelajah gunung yang melibatkan pendakian Gunung Tigalalu Kayoa serta penelusuran kembali situs purba Uwwatmdi. Situs yang menggambarkan kehidupan purba ini telah beberapa kali diekskavasi oleh para peneliti dan arkeolog, dan hasil penelitiannya telah dipublikasikan di jurnal internasional serta berbagai buku teks.

Tak ketinggalan, ada juga acara makan bersama yang menampilkan kuliner lokal Kayoa. Masyarakat setempat memiliki tradisi pangan yang mulai terancam punah, dengan bahan utama yang berasal dari singkong dan jagung.

Acara lain yang tak kalah menarik adalah Kayoa Fun Run sejauh 5 kilometer dan “Bacarita Bola”. Kegiatan ini, kini kembali digemakan, mengingat daerah ini memiliki sejarah sebagai salah satu penghasil bakat sepak bola yang hebat, terutama di masa kejayaan Persiter Ternate.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan