Jalan Panjang dan Jejak Kebaikan
(Catatan atas Peletakan Batu Pertama Masjid Al-Magfirah Tabanoma)
Oleh: Ichan Lutfie
Awal dari Sebuah Niat
Angin pagi berembus lembut di halaman lapang itu. Di bawah langit biru yang mulai merekah, suara doa terdengar lirih namun bergetar. Di tanah yang baru diratakan, seonggok batu diletakkan dengan khidmat di sudut pondasi pertama — bukan sekadar batu, melainkan simbol harapan, ikhtiar, dan doa yang mengental di dada setiap orang yang hadir pagi itu.
Tak ada bangunan besar yang lahir tanpa mimpi kecil. Mimpi itu berawal dari sebuah obrolan sederhana di serambi rumah salah satu tokoh perempuan kampung, beberapa bulan yang lalu. Warga berbincang tentang kebutuhan tempat ibadah yang lebih layak. Masjid lama yang telah menua tak lagi mampu menampung jamaah, dan secara fisik memang sudah perlu diperbaiki. Dari percakapan hangat itu, lahirlah gagasan membangun masjid baru.
Niat itu segera menjelma menjadi gerakan. Warga bergotong royong — bukan hanya dengan tenaga, tapi juga dengan doa dan segala yang mereka punya. Ada yang menyumbang bahan bangunan, ada yang menyiapkan konsumsi untuk para pekerja, ada pula yang datang sekadar membantu mengangkat batu. Semuanya menjadi bagian dari kisah panjang ini.
Peletakan Batu Pertama: Menyemai Harapan
Hari peletakan batu pertama menjadi momentum penting. Dari anak-anak hingga orang tua, semua datang dengan wajah berseri. Di tengah hamparan tanah yang masih basah oleh embun, spanduk bertuliskan “Peletakan Batu Pertama Masjid Al-Magfirah Desa Tabanoma” terbentang sederhana namun penuh makna.
“Membangun masjid berarti membangun jalan menuju surga. Setiap langkah menuju masjid adalah langkah menuju ridha Allah,” ujar Dr. H. Kasman Hi. Ahmad, S.Ag., M.Pd., Wakil Bupati Halmahera Utara, dalam tausiyahnya.
Bangunan fisik memang akan berdiri kokoh, namun yang paling penting adalah membangun keikhlasan di hati.
“Masjid bukan sekadar tembok dan kubah, ia adalah simbol cinta umat kepada Tuhannya,” ungkap KH. Sarbin Sehe, S.Ag., M.Pd.I., Wakil Gubernur Maluku Utara.
Doa pun mengalir. Tangan-tangan menengadah, dan batu pertama diletakkan. Momen itu bukan hanya menandai dimulainya pembangunan fisik, tetapi juga lahirnya kembali semangat kebersamaan di tengah masyarakat. Di antara lantunan doa, banyak mata yang berkaca-kaca — bukan karena sedih, melainkan haru menyaksikan bahwa kebaikan masih hidup di antara mereka.
Jalan Panjang Menuju Rumah Allah
Pembangunan masjid tentu bukan perkara sehari dua hari. Ia adalah perjalanan panjang — jalan yang mungkin berliku, kadang lambat, kadang penuh ujian. Namun justru di situlah letak keindahannya. Di setiap lapisan bata yang tersusun, ada kisah pengorbanan; di setiap tiang yang tegak, ada doa yang menahan lelah.
Bagi warga, ini adalah ladang pahala nyata. Setiap hari, selepas bekerja di kebun, mereka meluangkan waktu untuk membantu — sekadar mengangkut bahan bangunan atau menyiapkan air bagi pekerja. Di sela-sela istirahat, terdengar tawa kecil dan gurauan ringan; tanda bahwa kerja keras pun bisa diselimuti kebahagiaan.
Tantangan terbesar memang soal pembiayaan. Namun setiap kali ujian itu datang, selalu ada tangan-tangan dermawan yang muncul tanpa diminta. Kadang dari warga sekitar, kadang dari para perantau yang mendengar kabar tentang masjid ini dan ingin turut menanam saham akhirat.
“Masjid ini sudah tidak layak, dan harus dibangun kembali. Soal biaya, kita jalan bersama,”
ujar Ruslan Rizal (Ucan), sang penggerak pembangunan Masjid Al-Magfirah, kepada penulis di perjalanan melintasi Jazirah Halmahera.
Kebaikan itu seperti air — ia selalu menemukan jalannya sendiri.
Jejak Kebaikan yang Tak Terhapus
Masjid Al-Magfirah memang baru mulai dibangun, namun jejak kebaikan telah lebih dulu terpahat. Lewat para tetua kampung, semangat gotong royong kembali hidup. Anak-anak belajar arti berbagi, para remaja mengenal pentingnya kebersamaan, dan orang tua tersenyum melihat nilai-nilai itu tumbuh.
Setiap kali azan berkumandang di musala sementara, gema takbir terasa menggema lebih luas — membawa kabar bahwa rumah baru sedang dipersiapkan untuk menyambut para jamaah. Suara itu menenangkan, seolah menjadi janji bahwa setiap usaha tidak akan sia-sia di mata Allah.
“Masjid ini bukan hanya untuk kami yang hidup hari ini,” ujar sesepuh Ir. H. Amran Mustary, MM, dengan mata berbinar.
“Ia untuk anak cucu kita — agar mereka tahu bahwa iman tidak boleh berhenti dibicarakan, tapi harus diwujudkan.”
Peletakan batu pertama Masjid Al-Magfirah hanyalah awal — awal dari sebuah perjalanan panjang. Di balik setiap butir pasir tersimpan harapan agar tempat ini kelak menjadi pusat peradaban yang menyinari sekitarnya.
Kelak, ketika masjid ini berdiri megah, mungkin banyak yang lupa siapa yang pertama kali memikul semen, memasak untuk para pekerja, menyumbang satu karung pasir, atau mengangkat batu pertama. Namun Allah tidak akan lupa. Setiap niat baik, sekecil apa pun, akan tetap dicatat sebagai amal yang terus mengalir.
Masjid Al-Magfirah bukan sekadar bangunan di atas tanah — ia adalah jejak panjang kebaikan, warisan dari generasi terdahulu, dari orang-orang yang paling indah: mereka yang berbuat tanpa pamrih.







