Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara Antara Lumbung Pangan dan Limbah: Jeritan Petani Wasile

Antara Lumbung Pangan dan Limbah: Jeritan Petani Wasile

Lahan Petani Terdampak Aktivitas Pertambangan PT. ARA dan PT. JAS di Kabupaten Halmahera Timur

Ternatehariini — Kecamatan Wasile, yang terletak di Kabupaten Halmahera Timur, kini menjadi perhatian publik lagi. Daerah ini digadang-gadang menjadi lumbung pangan untuk Provinsi Maluku Utara, mencerminkan kemandirian pangan lokal. Pemerintah provinsi dan daerah Halmahera Timur terus-menerus menegaskan dukungan untuk inisiatif ini.

Namun, di balik ambisi tersebut, suara keluhan petani mulai terdengar. Bukan karena hasil panen melimpah, melainkan karena air — sumber kehidupan pertanian — kini menjadi ancaman.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara menunjukkan penurunan signifikan dalam produksi padi sepanjang tahun 2025. Dari bulan Januari hingga September, realisasi panen hanya mencapai 5. 431 hektare, berkurang 35,48 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Total produksi padi tahun ini diperkirakan hanya sebesar 21. 866 ton gabah kering giling (GKG), merosot hampir 30 persen dari 2024 yang mencatat 31. 233 ton.

Tiga wilayah penghasil padi terbanyak adalah Halmahera Timur, Halmahera Utara, dan Pulau Morotai. Namun, ironisnya, Halmahera Timur mengalami penurunan paling besar.

“Penurunan ini menimbulkan kecemasan mengenai ketahanan pangan daerah Pemerintah untuk segera menelusuri penyebab penurunan — apakah disebabkan oleh perubahan cuaca ekstrem, serangan hama, atau alih fungsi lahan, agar langkah mitigasi bisa segera dilakukan.” kata Kepala BPS Malut, Simon Sapary, pada tangga 5 November 2025.

Nurhakiki (30), seorang petani dari Desa Bumi Restu, mengungkapkan kekhawatirannya. Ia berpendapat bahwa klaim tentang lumbung pangan hanyalah sekadar omong kosong, yang tidak menyentuh masalah-masalah lingkungan yang mengganggu petani di Wasile.

“Keberadaan Gubernur dan Wakil Gubernur di Subaim kemarin tidak menyentuh pokok masalahnya. Sungai kami rusak karena dampak pertambangan, padahal air sungai itu sangat penting untuk sawah kami,” katanya.

Nurhakiki menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur berencana mengelola sekitar 1. 600 hektar lahan pertanian, untuk program gudang pangan. Sayangnya, rencana ambisius itu terhalang oleh kenyataan pahit: Sungai Muria, yang menjadi sumber utama irigasi, telah terkontaminasi limbah tambang.

“Hubungan antara sungai dan gudang pangan tidak bisa dipisahkan. Saat air tercemar, tanah akan rusak, dan panen akan gagal,” tambahnya.

Saat ini, para petani di Subaim hidup dalam ketidakpastian. Setiap kali hujan turun, pintu air ditutup untuk mencegah limbah masuk ke sawah — tapi itu juga berarti air bersih tidak mengalir.

“Kami kehilangan kemandirian dalam bertani. Air yang seharusnya memberikan kehidupan justru membawa bencana,” keluhnya.

Warna air Kali Muria berubah warna pada hari Minggu, 26 Oktober 2025. Dari yang awalnya jernih, kini menjadi coklat pekat seperti lumpur. Warga di tiga desa, Desa Bumi Restu, Mekar Sari, dan Batu Raja menjadi panik.

Air Itu Nyawa, Tapi Kini Membawa Petaka

Air Kali Muria Berubah Warna Kecoklatan Minggu 26 Oktober 2025

Pemantauan Ternatehariini.com dilapangan, menunjukkan air yang mengalir dari hulu tampak keruh dan meninggalkan endapan tebal di saluran irigasi.

Warga mencurigai bahwa pencemaran ini, berasal dari aktivitas tambang yang dilakukan oleh PT Alam Raya Abdi (PT ARA) dan PT Jaga Aman Sentosa (PT JAS), dua perusahaan yang beroperasi di bagian hulu sungai.

“Sungai Muria merupakan hidup kami. Dari bendungan inilah air mengalir ke jaringan irigasi dan ladang di tiga desa,” ungkap Ikram Taib, seorang pemuda dari Desa Batu Raja.

Ikram menjelaskan bahwa setiap kali hujan lebat, air dari hulu membawa lumpur yang menutup sawah warga. Dampaknya, banyak petani yang mengalami kegagalan panen.

“Dua kali banjir lumpur terjadi. Ada yang mengalami kerugian besar, dan beberapa lahan sudah tidak bisa dikelola kembali,” tuturnya.

Ia meminta pemerintah daerah untuk tidak hanya memberikan peringatan administratif kepada perusahaan tambang.

“PT JAS dan PT ARA harus dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan ini. Pemerintah tidak boleh tutup mata,” tegas Ikram.

Lumpur pekat menutupi sawah di Desa Batu Raja dan Bumi Restu terjadi Antara 26–28 Oktober 2025. Puluhan hektar tanaman padi mati tenggelam.

Miskiran, salah satu perwakilan kelompok tani, mengungkapkan bahwa sekitar 15 hektar sawah milik petani hancur total.

“Tanaman padi kami mati karena bercampur lumpur. Kami menderita kerugian besar, sementara perusahaan tidak melakukan tindakan apapun,” ujarnya dengan nada penuh kekecewaan.

Kerugian ekonomi petani tidak hanya berasal dari hasil panen yang gagal. Biaya untuk menanam, pupuk, dan tenaga kerja menjadi sia-sia. Dalam keadaan seperti ini, program “lumbung pangan” terasa seperti sebuah ironi.

“Bagaimana kita bisa membicarakan gudang pangan jika sawah kami sudah tertimbun limbah? ” tambahnya.

Meningkatnya tuntutan dari masyarakat mendorong DPRD Halmahera Timur,  untuk mengambil tindakan. Pada tanggal 29 Oktober 2025, DPRD mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama PT ARA dan PT JAS yang berlangsung di aula kantor Camat Wasile.

Rapat tersebut, yang dipimpin oleh Wakil Ketua II DPRD, Abdul Latif Mole, dihadiri oleh sejumlah anggota DPRD, perwakilan dari masing-masing perusahaan, Forkopimcam, kepala desa yang terdampak, serta tokoh masyarakat.

Sebagai hasil dari pertemuan ini, ditandatangani empat poin kesepakatan dalam berita acara resmi:

  1. PT ARA dan PT JAS bersedia bertanggung jawab atas endapan yang terjadi di bendungan yang dibangun oleh masyarakat.
  2. Akan dibentuk tim investigasi gabungan untuk meneliti lahan yang terdampak, dan seluruh biaya akan ditanggung oleh perusahaan.
  3. Rencana pembangunan cek dam utama di area konsesi PT ARA akan dibahas dan dikoordinasikan dalam waktu dua minggu ke depan.
  4. Perusahaan juga bersedia untuk memperbaiki serta mengganti kerugian lahan setelah hasil investigasi diperoleh.

“Kami mendesak agar pembangunan cek dam utama segera dilaksanakan. Namun, pelaksanaannya masih terhambat karena wilayah itu merupakan kawasan tertentu,” kata Latif Mole.

Ia menekankan bahwa, kedua perusahaan harus bertanggung jawab atas perbaikan bendungan milik masyarakat dan menanggung kerugian sawah warga.

Empat Poin Kesepakatan Dalam Berita Acara Resmi

Sikap Pemerintah Provinsi

Isu pencemaran ini pun menarik perhatian dari Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos. Ia menegaskan bahwa pemerintah telah mengambil langkah tegas terhadap PT ARA dan PT JAS.

“Masalah ini sudah berlangsung lama, dan kami ingin menyelesaikannya secara menyeluruh,” ujar Sherly di tengah kegiatan Gerakan Tanam Padi di Desa Sidomulyo, 5 November 2025.

Menurutnya, laporan dari Dinas Lingkungan Hidup dan lembaga terkait menunjukkan bahwa air yang tercemar limbah menggenangi sawah penduduk karena embung perusahaan yang terlalu rendah. Saat hujan besar, air meluap ke lahan pertanian.

“Jika tidak segera diatasi, setiap kali hujan deras, air pasti akan mengalir ke sawah warga,” tegasnya.

Pemerintah melaporkan kasus ini ke Inspektorat Kementerian ESDM, dan operasi perusahaan dihentikan sementara sampai perbaikan infrastruktur dilakukan.

“Langkah ini krusial untuk mencegah pencemaran di saat musim tanam. Namun, tanggung jawab utama tetap ada pada perusahaan,” kata Sherly.

Ia menegaskan bahwa Pemprov akan tetap memantau agar sawah masyarakat tidak terkena limbah pertambangan lagi.

“Saya tidak ingin saat petani mulai bercocok tanam, sawah mereka kembali terendam air coklat. Hal ini tidak boleh terulang,” tegasnya.

Lumbung Pangan di Atas Limbah

Krisis yang terjadi di Wasile memperlihatkan perbedaan antara apa yang dinyatakan dan kenyataan di lapangan. Di satu sisi, pemerintah mempromosikan kemandirian pangan. Di sisi lain, tanah-tanah produktif justru terancam oleh ekspansi pertambangan dan pengawasan lingkungan yang lemah.

Nurhakiki, seorang petani yang sejak awal bersuara, menutup dengan nada pahit:

“Kami ingin Subaim menjadi lumbung pangan, tetapi dengan tanah yang sehat dan air yang bersih. Maka hasilnya akan dapat dinikmati bersama, bukan hanya oleh segelintir orang,”

Sementara itu, pemerintah menegaskan bahwa tindakan tegas telah dilaksanakan, tetapi para petani di Wasile masih mengharapkan pembuktian yang nyata — bahwa penyimpanan hasil pertanian tidak akan didirikan di atas tanah berlumpur dan limbah.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan