Tambang, Kuasa, dan Luka: Menyingkap Penaklukan Halmahera oleh Industri Nikel
Ternatehariini – Konflik perebutan nikel di Halmahera Timur menyingkap wajah lain dari pembangunan industri: kehidupan adat yang tergilas kepentingan korporasi, jaringan modal-politik, dan aparat negara.
Masuknya industri nikel telah mengusir warga Maba Sangaji dari ruang hidup mereka. Hutan adat digunduli, sungai utama tercemar lumpur merah, dan lahan pangan tradisional hilang. Di balik janji hilirisasi, kenyataannya adalah keruntuhan ekosistem dan hilangnya sumber penghidupan. Petani dan pengolah sagu kini kehilangan tanah dan harga diri.
Protes damai warga dibalas dengan kriminalisasi: penangkapan, intimidasi, hingga vonis penjara bagi pejuang lingkungan. Sementara itu, korporasi saling bersaing dalam sengketa tumpang tindih izin, manipulasi tapal batas, dan laporan kepolisian yang berulang kali saling digunakan sebagai alat tekanan.
Negara terlihat lebih banyak absen, bahkan sering berpihak pada modal, mengabaikan penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan.
“Sengketa antara PT Position dan PT Wana Kencana Mineral menjadi potret kolusi antara kepentingan modal dan negara, di mana hukum dan birokrasi berubah menjadi alat akumulasi kekayaan dan represi,” tulis JATAM dalam laporan, “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa di Halmahera Timur.” Senin 10 November 2025.
Laporan ini bukan sekadar kronologi atau kumpulan data. Ia menawarkan investigasi mendalam tentang jejak bisnis yang melintasi Jakarta, Bermuda, hingga Beijing; jejaring politik-militer yang mengunci ruang kendali; dan cara-cara bagaimana ekosistem, sejarah, serta martabat masyarakat Halmahera dikorbankan demi kepentingan segelintir elit.
Di tengah gempuran kekuasaan, warga biasa bertahan, menuntut hak atas air, tanah, dan masa depan yang kini kian terancam. Jika keadilan harus diperjuangkan hari ini, suara dan perlawanan Maba Sangaji menjadi titik awalnya.







