Ternate Hari ini
Beranda Maluku Utara Kapolda Maluku Utara Membelokkan Isu: Warga Haltim Pembela Kehidupan, Bukan Penjahat

Kapolda Maluku Utara Membelokkan Isu: Warga Haltim Pembela Kehidupan, Bukan Penjahat

Ternatehariini – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama JATAM Maluku Utara, mengutuk dengan keras pernyataan Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono, terkait tanggapannya terhadap aksi penolakan tambang PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur.

Pernyataan tersebut, dinilai menyesatkan dan abai terhadap substansi konflik yang sedang dihadapi masyarakat, yakni perampasan tanah, pencemaran lingkungan, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara menyatakan, menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional warga, bukan sebuah tindakan kriminal.

Pada tanggal 29 April 2025, sekitar 300 warga dari empat desa di Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, menggelar aksi damai sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas PT STS yang telah mencemari hutan, ladang, sungai, dan laut di sekitar mereka.

Aksi yang dilakukan tersebut, merupakan pelaksanaan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

“Hak ini juga diakui dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (yang diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005), serta diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya.

Namun, dalam konteks politik hukum saat ini, yang banyak dikuasai oleh elit bisnis di sektor ekstraktif, termasuk tambang nikel, praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) semakin marak. SLAPP, sering digunakan untuk membungkam serta menghukum warga yang menentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas tambang, padahal mereka hanya menjalankan hak yang dilindungi oleh konstitusi.

Lebih lanjut, Julfikar menyebutkan, perjuangan untuk menjaga lingkungan hidup mendapatkan perlindungan khusus. Pasal 66 UU PPLH menegaskan bahwa Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

“Dengan demikian, tidak ada dasar hukum, untuk memanggil 20 warga dengan tuduhan menghalangi kegiatan tambang, sebagaimana tertuang dalam surat panggilan polisi,” tegas Julfikar.

Sangat sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa, surat panggilan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi dan praktik SLAPP, yang menunjukkan adanya kolusi, antara aparat kepolisian dan perusahaan tambang yang merusak ruang hidup masyarakat.

Kapolda Telah Menjadi Alat Kepentingan Korporasi Tambang

Didalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, secara jelas menyatakan bahwa, sanksi maksimal yang dapat dijatuhkan oleh aparat penegak hukum terhadap aksi unjuk rasa yang tidak memenuhi syarat hanyalah pembubaran massa.

Oleh karena itu, kegagalan aparat kepolisian dalam menjaga keamanan aksi tidak bisa dijadikan alasan untuk menindak secara kekerasan dan mengkriminalisasi warga melalui surat panggilan polisi.

Polisi seharusnya menjadi pelayan masyarakat, bukan alat untuk kepentingan perusahaan. Pernyataan Kapolda yang hanya mengulangi pasal-pasal hukum tanpa menyentuh persoalan sosial dan ekologis yang ada di lapangan, mencerminkan sikap arogansi dan kecenderungan pihak kepolisian berpihak kepada korporasi tambang.

“Sikap semacam ini jelas mencederai amanat konstitusi UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menegaskan bahwa fungsi kepolisian adalah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada warga,” ujarnya.

Tindakan represif seperti penembakan gas air mata dari jarak dekat, sekitar 4–5 meter dari massa aksi, jelas melanggar Pasal 40 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang mengatur Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Pelaksanaan Tugas Polri. Pasal tersebut mengatur bahwa anggota Polri dilarang bersikap arogan, bertindak diskriminatif, melindungi pelanggar hukum, menutupi pelanggaran, dan melakukan tindakan berlebihan yang dapat merugikan masyarakat. Sudah seharusnya aparat kepolisian yang bertindak sewenang-wenang, menyebarkan narasi menyesatkan, dan merugikan masyarakat ditindak tegas.

Intimidasi dan kekerasan hukum terhadap massa aksi melalui surat panggilan polisi juga harus segera dihentikan, karena tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (UU Nomor 12 Tahun 2005), UU Nomor 9 Tahun 1998, Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Pasal 2 Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024.

PT STS Diduga Beroperasi Tanpa Persetujuan Masyarakat Adat

Terkait dengan PT STS, sambung Julfikar, Kapolda belum menjelaskan apakah perusahaan tersebut telah mendapatkan persetujuan yang sah dari masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Apakah masyarakat diberikan informasi yang memadai, kesempatan untuk memahami risiko, serta kebebasan untuk menerima atau menolak proyek dari awal? Jika tidak, maka operasi perusahaan di wilayah adat itu adalah bentuk pelanggaran terhadap hak kolektif masyarakat adat dan merupakan penindasan struktural yang nyata.

Kapolda juga keliru, dalam menafsirkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, yang dengan tegas memisahkan Hutan Adat dari kategori Hutan Negara. Ini berarti bahwa wilayah tersebut berada di bawah otoritas masyarakat hukum adat, bukan negara atau korporasi. Mengabaikan putusan ini, sama saja dengan menyangkal konstitusi dan merendahkan legitimasi perjuangan masyarakat adat yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Hak masyarakat hukum adat tidak dapat bergantung pada keberadaan Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah. Konstitusi serta berbagai instrumen hukum nasional dan internasional telah mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat secara inheren. Negara tidak dapat menjadikan keterlambatan birokrasi, sebagai dalih untuk melegalkan perampasan wilayah adat. Penundaan pengakuan administratif seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengingkari hak-hak tersebut.

Oleh karena itu, kami menegaskan:

  1. Segera hentikan aktivitas PT STS di Halmahera Timur dan proses hukum terhadap semua tindakan kejahatan yang dilakukan.
  2. Hentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga, serta segera menarik semua aparat kepolisian dari lokasi.
  3. Wujudkan pengakuan penuh atas wilayah adat tanpa syarat administratif yang memberatkan masyarakat.
  4. Mendesak Kadiv Propam Polri untuk segera memeriksa personel kepolisian yang terlibat, mengingat unsur pelanggaran terhadap Perkap 8/2009 telah terpenuhi.
  5. Kami mendesak Komnas HAM serta Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan untuk segera mengeluarkan surat perlindungan bagi warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Tindakan ini merupakan bagian dari mandat konstitusi dan amanat hukum, mengingat para pejuang lingkungan tidak seharusnya dihadapkan pada tuntutan pidana maupun gugatan perdata atas perjuangan mereka.
  6. Selain itu, kami juga meminta kepada pihak Kepolisian dan para pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia untuk segera melakukan audit dan investigasi terkait kelengkapan izin operasi PT STS, serta dampak pencemaran, kerusakan, dan konflik sosial yang ditimbulkannya.

Menolak Tambang Bukan Kejahatan. Merampas Tanah Rakyat adalah Kejahatan Sebenarnya.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan