Jetty Ilegal PT.STS Jalan Terus: Penegak Hukum Bungkam
Operasi penambangan nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur, Maluku Utara ditengarai sarat pelanggaran hukum. Meski begitu, perusahaan yang notabene saham mayoritasnya dikuasai perusahaan asal Singapura ini, tidak tersentuh oleh hukum dan justru di backup aparat.
Pada 13 April 2025, PT STS secara diam-diam melakukan mobilisasi alat berat ke kawasan Pesisir Memeli, Desa Pekaulang, Maba, Halmahera Timur dalam rangka membangun Terminal Khusus (Tersus) atau jetty. Namun apa yang dilakukan oleh perusahaan ini tanpa diawali dengan sosialisasi menyeluruh kepada warga.
Selian tidak melakukan sosialisasi, operasi perusahaan yang ugal-ugalan ini juga telah menggusur kebun warga yang tanpa diketahui serta disetujui oleh pemilik lahannya. Pembangunan Tersus itu juga, ditengarai tanpa ada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Setelah lebih dari sepekan, sejak 13 April – 1 Mei 2025, pembangunan jetty tetap berlangsung dan dengan culas perusahaan menawarkan skema ganti rugi dengan tarif yang sudah dipatok sepihak oleh perusahaan senilai Rp.10.000 – Rp.15.000 per meter persegi. Nilai yang dipatok itu tidak layak dan ditolak mentah-mentah oleh warga.
“Alih-alih suara warga didengar malah justru menguap begitu saja. Proyek pembangunan Tersus itu tetap berjalan yang dikawal ketat aparat kepolisian dan preman sewaan. Ironisnya, tidak ada transaksi hukum formal yang dilakukan, memperkuat dugaan penyerobotan lahan,” ungkap M.Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute sekaligus Warga Teluk Buli, Halmahera Timur.
Pada tanggal 22 April 2025 lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Halmahera Timur, Harjon Gafur, mendatangi lokasi proyek dan memerintahkan perusahaan agar menghentikan aktivitas mereka.
Sebab, proyek jetty di Memeli itu tidak tercantum dalam dokumen Amdal PT.STS yang sudah disahkan, dengan begitu pembangunan tersebut ditengarai melanggar peraturan perundang-undangan lingkungan. Namun bukannya perusahaan menyetop karena diperintahkan oleh pihak yang berwenang, perusahaan justru dan tidak menggubrisnya lalu dengan dengan enteng tetap menjalankan proyek hingga pada 1 Mei 2025.
Berkaitan dengan itu, lanjut, Said, maka PT.STS ditengarai telah melanggar sejumlah ketentuan hukum, diantaranya Pasal 22, 36, 69, dan 109 pada Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, terdapat unsur dugaan pelanggaran pidana berupa penyerobotan lahan yang tercantum dalam Pasal 385, KUHP. Begitu juga, berkaitan dengan penggunaan wilayah pesisir tanpa izin yang tercantum dalam UU No.27/2007 jo.UU No.1/2014, hingga pelanggaran wilayah adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2)dan regulasi turunannya.
“Tak hanya itu, PT STS juga terindikasi beroperasi tanpa Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) pada jalan utama yang menghubungkan Buli dengan Bandara serta membawa alat berat ke luar wilayah konsesi resmi tambang, melanggar UU Minerba No.3/2020 dan UU Tata Ruang No. 26/2007,” katanya.
Said mengatakan, berangkat dari sejumlah temuan serta indikasi pelanggaran hukum oleh PT STS maka kami memandang hasil pertemuan yang dimediasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur pada 30 April 2025 di Sofifi sebagai bentuk pengabaian terhadap substansi pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.
Pertemuan tersebut gagal menjawab pokok permasalahan dan justru terkesan hanya ingin meredam kemarahan warga yang telah bertahun-tahun menyaksikan ketidakadilan di wilayahnya sendiri.
“Sehubungan dengan itu, maka kami mendesak agar Kepolisian Resor Halmahera Timur untuk segera mengambil tindakan tegas: menghentikan seluruh aktivitas ilegal PT STS, memasang garis polisi di lokasi proyek serta menyita alat berat yang digunakan.Kami juga meminta agar semua proses hukum harus dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Said menegaskan, bahwa kepada Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup maupun Kementerian Kehutanan agar melakukan evaluasi menyeluruh kepada PT STS. Selanjutnya, laporan ini disusun berdasarkan dokumen dan wawancara lapangan yang diperoleh oleh jaringan masyarakat sipil serta pantauan langsung dari lokasi kejadian. Jika negara terus membiarkan ketimpangan ini,maka gerakan rakyat akan menjadi satu-satunya jalan menuju keadilan yang sejati.







