Capaian 100 Hari Kerja Sherly Tjoanda Gubernur Malut: Kriminalisasi Warga dan Kerusakan Ekologi Meluas
Ternatehariini – Sherly Tjoanda telah menjalani peran sebagai Gubernur Maluku Utara bersama Wakilnya Sarbin Sehe selama seratus hari, tepatnya sejak ia dilantik di Jakarta pada tanggal 20 Februari 2025.
Selama seratus hari tersebut, ia tidak hanya fokus pada pencitraan kekuasaan melalui berbagai kebijakan populis yang dicetuskannya. Ia juga aktif dalam mempercantik konten di media sosial, terlihat dari penyebaran informasi populis yang secara sistematis disebarkan di internet dan menjadi konsumsi publik yang luas.
Namun, dibalik strategi politik tersebut, perjalanan pemerintahan Sherly Tjoanda yang memasuki seratus hari ini, sebenarnya disertai oleh berbagai peristiwa menyedihkan.
Peristiwa ini, harus dipahami sebagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Negara dan Korporasi terhadap masyarakat yang berjuang untuk melindungi lingkungan, keselamatan desa, masa depan generasi, serta sumber kehidupan yang tengah dan akan dihancurkan oleh industri ekstraktif.
“Alih-alih melindungi masyarakat serta merawat dan mengembalikan ruang hidup mereka, tindakan Sherly justru berlawanan,” ucap, M. Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute serta Warga Halmahera Timur, Jumat 30 Mei.
Said mengatakan, air Sungai Sangaji di Maba Sangaji, Halmahera Timur yang dulunya sangat jernih dan bersih. Namun, saat ini air sungai tidak bisa digunakan lagi karena kondisinya telah keruh dan bercampur lumpur. Aliran sungai tercemar oleh ore nikel secara terus menerus, menyebabkan airnya berwarna kemerahan dan coklat.
Padahal, sungai tersebut menjadi salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, dengan mengandalkan udang dan ikan tawar, dari Sungai Sangaji untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Hal ini dikarenakan, di hulu Sungai Sangaji, tepat di belakang Kampung Maba Sangaji, terdapat berbagai perusahaan tambang nikel, termasuk PT.Weda Bay Nickel dan PT.Position. Aktivitas pertambangan telah mengubah kondisi hutan, termasuk menghilangnya bukit-bukit yang dulunya berdiri kokoh.
“Sementara itu, hutan dan bukit tersebut berfungsi sebagai penyangga bagi masyarakat. Kegiatan pertambangan juga merusak wilayah tradisional yang dihuni oleh warga adat. Semua kerusakan ini berkaitan erat dengan terganggunya sistem alami yang mendukung kehidupan mereka,” ungkapnya
Pembungkaman dan Kriminalisasi
Meski begitu, warga setempat tidak tinggal diam dan keberatan dengan kehancuran penyangga kampung mereka. Mereka menjelajahi Sungai Sangaji hingga ke hutan untuk melakukan aksi protes pada 18 Mei 2025.
Aksi protes ini mengangkat semangat adat, dengan tujuan yang jelas dengan tujuan meminta perusahaan, untuk menghentikan operasinya dan meninggalkan wilayah tradisional. Namun, saat ritual adat masih berlangsung, polisi mengepung dan menangkap warga. Tragisnya, beberapa di antara mereka mengalami kekerasan dari aparat keamanan.
Tercatat sebanyak 11 warga ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Maluku Utara. Sementara itu, pihak kepolisian juga memberikan tekanan kepada warga dengan membangun citra negatif mengenai mereka.
“Mereka menggambarkan perjuangan yang sesungguhnya bertujuan untuk melindungi tempat tinggal warga sebagai tindakan preman,” kata Said
Sebelas orang yang ditahan masih berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ternate. Saat ini, ada semakin banyak dukungan untuk mendesak pembebasan warga tanpa syarat.
“Penculikan warga dan kekerasan polisi juga terjadi sebelumnya di Maba Tengah, Halmahera Timur. Saat itu, masyarakat memprotes wilayah adat Wayamli yang telah dirusak oleh perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa,” ungkapnya.
Warga telah melakukan tiga kali aksi langsung untuk menuntut tiga hal utama dari perusahaan, yaitu: menghentikan operasi di wilayah adat, memulihkan hak-hak warga dan lingkungan, serta segera meninggalkan kawasan adat. Tetapi, rangkaian demonstrasi warga terhambat oleh petugas keamanan.
Aksi yang dilakukan pada 28 April 2025 ini menuntut keadilan untuk lingkungan, malah disambut dengan tembakan gas air mata dan tindakan kekerasan yang mengakibatkan tiga orang terluka. Banyak ibu-ibu dan anak-anak yang terlibat dalam demonstrasi merasakan dampak psikologis yang buruk.
“Sehari setelah insiden kekerasan tersebut, sebanyak 20 warga menerima panggilan dari pihak kepolisian,” ujarnya.
Said menceritakan bahwa, pada 10 Mei 2025 lalu, terdapat sebanyak 14 warga Maba Tengah, kembali mendapatkan surat panggilan dari polisi mengenai protes yang telah mereka lakukan sebelumnya kepada sebuah perusahaan yang telah mengambil alih lebih dari 25 hektar lahan adat Wayamli melaporkan warga ke pihak berwajib.
Tuduhan yang diajukan adalah bahwa warga membawa senjata tajam, melakukan penghasutan, dan merampas dalam aksi protes yang terjadi pada 21 April 2025.
Ironisnya, pada saat yang sama PT STS -yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Green E-Steel (perusahaan asal Singapura)- justru aktif membangun jetty di Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Maba yang diduga ilegal karena tidak memiliki izin lingkungan. Namun, kegiatan ini tetap berjalan tanpa hambatan, bahkan mendapatkan pengawalan dari aparat.
Kekuasaan Korporasi
Sementara, Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, menyebutkan, Pemerintah Maluku Utara yang seharusnya berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan PT STS. Namun, kepemimpinan Sherly Tjoanda justru memberikan dampak bias dalam hal ini. Hal ini terlihat pada pertemuan yang berlangsung pada 30 April 2025 di kantor Gubernur Maluku Utara di Sofifi.
Rapat ini dihadiri oleh beberapa pihak, termasuk Wakil Gubernur Maluku Utara, Kapolda Malut, Kapolres Haltim, Dandim Haltim, Bupati Haltim, serta Direktur PT STS. Di bawah kepemimpinan Sherly, keputusan yang diambil dengan cara yang arogan mengancam keselamatan penduduk Maba dan Maba Tengah.
“Dalam pertemuan tertutup tersebut, pemerintah Maluku Utara, yang seharusnya mewakili negara, berpura-pura ingin melindungi masyarakat dan mengutamakan kepentingan mereka. Namun, hasil dari rapat itu mencerminkan sebaliknya,” kata Julfikar.
Julfikar mengatakan, terdapat tujuh poin keputusan yang dengan jelas menunjukkan sifat sebenarnya dari pemerintahan yang dipimpin oleh Sherly adalah memperkuat keberadaan perusahaan dan membiarkan tindakan kriminal terhadap warga.
Lebih jauh, Gubernur Maluku Utara ini semakin memperlihatkan jati dirinya. Ia bukan hanya bertindak sebagai pelindung bagi perusahaan, tetapi juga sebagai seorang pengusaha di sektor ekstraktif. Ia menyampaikan kepada media pada 25 Mei 2025 bahwa, “Karena investasi perlu dijaga agar iklimnya tetap stabil. Keamanan yang stabil itu penting agar pertumbuhan ekonomi kita tetap berada di angka dua digit”.
Mengenai iklim investasi yang harus dijaga agar tidak terganggu serta keamanan di area pertambangan, semua ini semata-mata demi menjaga pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tetap berada di angka dua digit.
“Pernyataan Sherly ini sekaligus mengungkap sifat asli dari para pelaku ekstraksi, yang terus menerus mengambil keuntungan diatas kerusakan yang ditimbulkan. Disisi lain, dengan liciknya, mereka mendengungkan alasan “kemajuan ekonomi” yang terus-menerus diulang sebagai mantra yang dianggap paling ampuh,” jelasnya.
Tidak hanya itu, sabung Julfikar bahwa, Sherly mengelola sebuah perusahaan pertambangan nikel yang bernama PT Wijaya Karya yang terletak di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Pada 20 Mei 2025, perusahaan ini diduga telah mengambil lahan milik warga secara ilegal. PT Wijaya Karya juga diduga telah menerima perpanjangan izin operasi penambangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tepat saat Sherly telah menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara.
Selain di Pulau Gebe, Sherly Tjoanda juga mengelola perusahaan yang bergerak dalam penambangan pasir besi dan mineral di Desa Wooi, Pulau Obi, Halmahera Selatan. Perusahaan yang bernama PT Bela Sarana Permai ini memiliki konsesi seluas 4.290 hektar yang mencakup wilayah Wooi.
“Parahnya, area konsesi ini meliputi seluruh kawasan tempat tinggal warga. Masyarakat setempat dengan tegas menolak kehadiran perusahaan dan meminta agar mereka pergi,”
Omon-omon Sherly Djoanda
Sementara Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea serta Warga Halmahera Tengah, menambahkan, pada 29 April 2025, laporan investigasi hasil kolaborasi antara The Gecko Project dan OOCRP, DW News, News Tapa, serta The Guardian mengungkapkan bagaimana Harita Nickel—perusahaan yang bertanggung jawab atas kegiatan penambangan dan pengolahan nikel—telah mencemari air di Pulau Obi selama lebih dari sepuluh tahun.
Informasi yang bocor dari pengujian internal Harita menunjukkan bahwa polutan—zat karsinogenik berbahaya—telah mencemari sumber air minum di desa-desa sekitar. Paparan terhadap kromium-6 ini dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal, kerusakan gigi, iritasi kulit, serta berpotensi memicu kanker.
Di Halmahera, khususnya di Teluk Weda, Halmahera Tengah, selain kerusakan pada sejumlah sungai yang terkontaminasi logam berat, juga ditemukan biota laut yang tercemar logam berbahaya di perairan sekitar area industri pengolahan nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Laporan terbaru dari penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako yang dirilis pada Senin, 26 Mei 2025, menunjukkan bahwa masyarakat lokal dan pekerja telah terpapar serta terkontaminasi dua jenis logam berat, yaitu merkuri dan arsenik, yang melebihi batas yang dianggap aman.
Kasus pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia ini mengingatkan, pada pernyataan Sherly Tjoanda saat debat kedua yang berlangsung di Auditorium Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) pada Selasa, 19 November 2024—dalam rangka pencalonan sebagai Gubernur Maluku Utara.
Pada kesempatan itu, Sherly menyampaikan betapa pentingnya perlindungan lingkungan menjadi prioritas dalam kepemimpinannya jika terpilih. Ia menyoroti berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di Teluk Weda, Halmahera Tengah, dan Teluk Buli, Halmahera Timur akibat aktivitas tambang nikel serta pengelolaannya.
Ia menegaskan bahwa ia tidak hanya akan berbicara, tetapi lebih dari itu, ia akan mengambil langkah nyata dalam rehabilitasi lingkungan ketika terpilih sebagai Gubernur Maluku Utara, “kami tidak hanya mengucapkan kata-kata, tetapi juga akan melaksanakan tindakan nyata untuk memulihkan lingkungan di Maluku Utara,” kutipnya.
Meskipun pernyataan tersebut telah dibantah sebelumnya melalui laporan Catatan Akhir Tahun 2024 dan Proyeksi 2025: Bencana Ekstraktivisme yang Terorganisir di Maluku Utara, pernyataan Sherly dalam debat tersebut tidak dapat diandalkan dan dianggap sebagai kata-kata kosong.
“Kami mengamati perjalanan 100 hari kerja Sherly yang justru membuktikan bahwa ia terus menghindar dari masalah penting yang dihadapi masyarakat saat ini: krisis sosial-ekologis yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan dan tekanan industri nikel yang semakin merajalela,” tegasnya.







